ALVIN PLATINGA - REFORMED EPISTEMOLOGI

 

Reformed Epistemologi

Pendahuluan

Kekristenan sejak kelahirannya selalu mendapatkan tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari luar yang mengguncang sisi epistemologi kekristenan adalah datang dari para pemikir atheis. Mereka mempertanyakan apakah Allah dapat dibuktikan eksistensinya. Pemikir Kristen telah memikirkan pertanyaan ini dan berusaha menjawab dan mempertanggung jawabkan kepercayaannya. Salah satu arus pemikiran datang dari pemikir evidentialism, yaitu arus pemikiran yang menyebutkan bahwa Allah ada dengan bukti-bukti yang dapat diajukan dan dikatakan valid. Menurut arus pemikiran ini, bukti dapat dibagi menjadi dua: proposional dan non-proposional. Bukti non-proposional merupakan sebuah entitas atau institusi, sebagaimana Calvin menyebutnya sebagai sensus divinitatis. Kaum epistemologi evidentialists secara umum menginginkan untuk memberikan bukti secara proposional, yaitu argument-argumen yang mendukung kepercayaan kristiani.

Alih-alih menerima persyaratan kaum evidentialists, Alvin Plantinga menantang keseluruhan ide tentang mekanisme pemberian atau persyaratan bukti sebagai syarat utama untuk validitas atas sebuah kepercayaan. Alvin Plantinga adalah seorang raksasa pemikir Kristen yang mempopulerkan pandangan reformed epistemology. Dia lahir pada tahun 1932. Dengan berlatar belakang dari suksesi religius Belanda di tahun 1834, rupanya pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Abraham Kuyper sebagai pemimpin gerakan suksesi tersebut. Plantinga mengawali pendidikan tingginya di Calvin College dan kemudian di Harvard dimana di sana dimulai pergumulan iman kristianinya.  Kemudian dia mendengarkan sesi kelas yang diajar oleh professor filsafat Harry Jellema di Calvin College. Setelah itu dia meninggalkan Harvard dan kemudian kembali ke Calvin. Dari studinya dia beranggapan bahwa keberatan akan kekristenan diajukan baik oleh intelektual Kristen maupun bukan. Baginya tidak ada akademisi yang netral, pandangan yang juga dianut oleh Kuyper dan Van Til. Kemudian dia mengajar di Wayne State University dan di Notre Dame University.

Warisan Reformed dan Sensus Divinitatis

Plantinga berpendapat bahwa kepercayaan akan eksistensi Allah dapat merupakan kepercayaan dasar yang sah. Hal itu bukanlah berarti bahwa tidak perlu ada argumentasi untuk keberadaan Allah. Argumentasi tersebut bisa dalam bentuk argumentasi rasional. Oleh karena itu, bagi Plantinga, apabila ada seseorang theis yang tidak mampu membuktikan secara rasional tentang keberadaan Allah, maka dia pun telah berlaku irasional.

Plantinga kemudian menawarkan pemikiran yang beliau pinjam dari John Calvin yaitu sensus divinitatis, yaitu sebuah kesadaran yang dimiliki oleh semua manusia melalui interaksi manusia tersebut dengan alam dan hati nuraninya. Menurutnya manusia dilahirkan dengan sebuah kapasitas untuk mengalami kesadaran tersebut melalui pengalaman-pengalaman yang mengkonfirmasi kesadaran akan Allah. Rasa bersalah dapat juga dikategorikan sebagai sebuah kesadaran akan keberadaan Allah sebagai seorang pribadi yang telah dikecewakan. Ini bukan berarti bahwa pada saat kita melihat langit berbintang maka kita akan menyimpulkan bahwa Allah itu ada. Melainkan kita hanyalah tahu bahwa Allah itu ada. Sama halnya saat kita tahu bahwa langit berbintang ada karena memang kita melihatnya dan oleh karena itu kita percaya bahwa itu ada. Sensus divinitatis adalah sebuah persepsi, ingatan dan kepercayaan apriori.

Plantinga kemudian menjelaskan pandangan ini lebih lanjut menjadi dua cara. Pertama, yang lebih umum adalah kita melihat sesuatu di alam dan kita menyimpulkan bahwa Allah itu ada. Saat kita melihat keteraturan di alam, maka kita menyimpulkan bahwa ada pengaturnya. Premisnya adalah terdapat keteraturan di alam ini, sedangkan kesimpulannya adalah bahwa terdapat pengatur yang menyebabkan keteraturan tersebut. Kedua, pertemuan kita dengan dunia ini membuahkan sebuah kesadaran di dalam diri kita, dan itu bukanlah sebuah kesimpulan. Kita melihat alam yang mengagumkan ini dan kita pun tahu bahwa Allah itu ada. Ini adalah sebuah intuisi, bukanlah sebuah proses berpikir yang menghasilkan kesimpulan. Oleh sebab itu, kesadaran akan Allah adalah sebuah karya Roh Kudus dan seperti itulah kita diciptakan.

Epistemologi Plantinga

Untuk memahami epistemologi Plantinga, kita harus berhadapan dengan perdebatan antara fondasionalisme dan koherentisme serta internalisme dan eksternalisme. Pandangan Plantinga di satu sisi berbenturan dengan fondasionalisme yang berpendapat bahwa beberapa keyakinan dapat dibenarkan tanpa kesimpulan dari keyakinan yang lain. 

Plantinga dalam bukunya “Is belief in God rational?” ia memperdebatkan pandangannya secara lebih eksplisit dalam kerangka fondasionalisme. Plantinga agak kurang setuju dalam hal ini. Baginya kita juga membutuhkan dukungan dari keyakinan lain walaupun itu bukan merupakan kesimpulan. Keyakinan lain itu disebutnya sebagai keyakinan dasar (sensus divinitas) yang lebih bersifat intuisi.

Plantinga tidak meninggalkan fondasionalisme sama sekali, tetapi menegaskan bahwa kriterianya untuk apa yang mendasar terlalu sempit. Alasan mengapa menerima sebagai dasar hanya proposisi yang terbukti dengan sendirinya, tidak dapat diperbaiki atau terbukti dengan indra dan mengapa kepercayaan kepada Tuhan tidak bisa menjadi dasar yang benar adalah karena fondasionalisme hanya mendasarkan pengetahuan mereka pada apa yang bersifat kesaksian ahli, ingatan dan akal sehat dan indrawi saja. Seharusnya bagi Plantinga mereka menambahkan juga intuisi melalui sensus divinitas.Tetapi di lain pihak juga ia setuju dengan saran Thomas Aquinas bahwa pengetahuan itu bisa dijadikan suatu kesimpulan karena sensus divinitas itu bertolak dari asumsi premis yang benar. 

Ketika ia berdiri pada pandangannya terkait intuisi yang dibenarkan sebagai keyakinan dasar yang diterima luas oleh keyakinan lain ia mempertegas posisinya melawan paham koherentisme. Koherentis modern mengklaim bahwa keyakinan hanya dibenarkan oleh keyakinan lain, dan dengan demikian tidak ada yang namanya keyakinan dasar karena keyakinan yang satu harus membenarkan keyakinan yang lain. 

Plantinga berpendapat bahwa koherentisme bukanlah sistem yang koheren, dimana setiap keyakinan terbukti didukung oleh keyakinan yang lain, melainkan bahwa semua keyakinan ada dasar yang benar. Menurut Dia yang dimaksudkan hanya sebatas dasar yang benar yang bisa diterima secara koheren oleh keyakinan yang lain.

Namun ketika ia mengemukakan buah pemikirannya ini, nampaknya pemikirannya ini mendukung paham Internalisme.  Internalis berpendapat bahwa memiliki alasan diperlukan untuk pengetahuan. Mereka menekankan perspektif subjek, berfokus pada alasan seseorang untuk memegang keyakinan. Namun Plantinga tidak setuju dengan hal itu. Dia bahkan menolak internalisme yang lebih mendukung evidensialis yang menekankan bukti. 

Ia bahkan setuju dengan eksternalisme yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu sendiri berada di luar proses pemikiran kita.  Mereka menekankan alasan obyektif untuk keyakinan, mendekati pengetahuan dari perspektif pengamat yang ideal, bahkan jika individu dengan keyakinan tersebut tidak memiliki pengetahuan itu. Salah satu argumen untuk eksternalisme adalah bahwa jika anak kecil dan hewan dapat dikatakan mengetahui sesuatu, itu tidak mungkin karena mereka mampu menyusun alasan dalam pikiran mereka, seperti klaim internalis. Lainnya adalah bahwa bahkan orang dewasa biasa dapat mengalami kesulitan mengartikulasikan alasan untuk keyakinan. Artinya bertolak dari sensus divinitas, keyakinan dasar itu bukan hasil pemikiran manusia, namun karunia Allah dan hasil intervensi Roh Kudus. 

Jadi kita lihat di sini bahwa Plantinga menempatkan epistemologinya pada fondasionalisme tapi bukan fondasionalisme klasik yang bagi dirinya sempit, yang lebih menekankan bukti melalui indra dan pengalaman, namun ia menambahkan bukti yang lebih kearah intuisi/ keyakinan dasar, yang cukup tanpa harus meminta pembenaran dari keyakinan yang lain. Juga dalam epistemologinya ini, ia lebih mengakui dan setuju dengan eksternalisme karena baginya pengetahuan itu (sensus divinitas) lahir bukan dari dalam diri seseorang, namun di luar kemampuan  dirinya sendiri. 

Pola pikir selanjutnya yang dikembangkan Plantinga adalah mengenai epistemologi di bidang filsafat yang mempelajari bagaimana sebuah kepercayaan/keyakinan dapat dijadikan suatu pengetahuan. Secara tradisional, pengetahuan adalah keyakinan sejati yang dibenarkan (membenarkan kepercayaan). Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat 3 kriteria kausalitas   (1) mereka memercayainya, (2) itu benar dan (3) keyakinan mereka “dibenarkan”, yaitu, mereka memiliki alasan yang baik untuk mempercayainya. Jika salah satu dari mereka hilang, mereka tidak memiliki pengetahuan.

Plantinga mengusulkan sesuatu yang lain yakni bahwa kepercayaan/keyakinan dapat dijadikan suatu pengetahuan bukan hanya dibenarkan, tetapi suatu “jaminan”. Dalam hal itu, dia menggunakan kata “warrant” (jaminan) untuk mengidentifikasi apa yang harus ditambahkan kepada  kepercayaan untuk menjadikannya pengetahuan. Warrant adalah milik kepercayaan seseorang. Jadi Plantinga berfokus pada kepercayaan itu sendiri, khususnya bagaimana kepercayaan itu terbentuk. 

Pandangan ini disebut reliabilisme sebagai bentuk dominan dari eksternalisme. Pengetahuan bukan masalah alasan dalam pikiran kita, tetapi bagaimana proses kepercayaan terbentuk. Reliabilitas sendiri memiliki keuntungan memvalidasi bahwa kita mengetahui sesuatu bahkan ketika kita tidak dapat memberikan alasan untuk itu. Hal ini didasarkan pada:

1. Gagasan yang lahir dari kemampuan indrawi yang berfungsi dengan baik. 

2. Berfungsi dengan cara yang dirancang oleh Tuhan. 

3. Berfungsi di lingkungan yang tepat. 

Sehingga tujuannya harus:

1.  Menghasilkan keyakinan yang benar. 

2.  Rencananya harus bagus: "harus ada probabilitas objektif yang substansial bahwa kepercayaan semacam itu yang dihasilkan di bawah kondisi itu adalah benar." 

3.  Tidak boleh ada yang kalah (tidak ada yang berhasil bertentangan dengan keyakinan) 

 

Analisis

           Plantinga mengatakan bahwa kita bisa menerima sebuah keyakinan tanpa dipengaruhi dan dibenarkan oleh keyakinan lain karena sudah melewati bukti-bukti kesaksian, akal sehat dan indrawi. Namun tidak cukup disitu, sesuatu yang baru juga dimasukan yakni bukti yang bersifat naluri atau yang bisa disebut dengan hati nurani.  Jika hal ini diterapkan dalam kekristenan, maka kita akan terbuka terhadap semua ajaran lain dan membenarkan ajaran serta keyakinan tersebut, sekalipun hal itu bertentangan dengan Alkitab karena semua agama dan keyakinan secara naluri sama-sama bertolak dalam keyakinan akan adanya keberadaan Allah. Kita tidak bisa menanyakan dasar pemikiran mereka. Dan kita tidak bisa mengajukan dasar pemikiran dan pembuktian kita karena ini berlaku untuk semuanya.

Plantinga berpendapat bahwa keyakinan kita tidak perlu dibuktikan seperti pandangan internalisme dengan evidensialismenya karena itu lahir dari luar kemampuan diri kita sendiri dan itu adalah karunia Allah serta intervensi Roh Kudus. Dalam Kekristenan, kita harus tahu bahwa manusia bukan robot yang dikendalikan sesukanya, namun Tuhan mengaruniakan kebebasan untuk manusia memilih dan dalam pemilihan itu harus melewati pembuktian dan pengalaman pribadi. Kepercayaan/keyakinan kita harus dibuktikan dan dipertanggungjawabkan di hadapan keyakinan lainnya. Rasul Petrus pernah mengingatkan para pengikutnya untuk siap sedia mempertanggungjawabkan apa yang mereka yakini dan imani (band. I Petrus 3:15).

Sisi positif dari Plantinga adalah penolakannya terhadap koherentisme dimana iman Kristen tidak perlu dibenarkan oleh keyakinan lainnya. Bahkan pada kenyataannya kita melihat seringkali tidak pernah ada kesamaan yang koheren bahkan sebaliknya banyak perbedaan yang sangat mencolok. Bukankah Paulus pernah berkata kesamaan apakah yang terdapat antara mereka yang percaya dan tidak percaya kepada kristus? (band. II Korintus 6:14). 

Pendekatan apologetika Platinga lebih kearah apologetika positif yang berusaha mendukung kepercayaan dengan argumen tentang keberadaan Allah. Pendekatan seperti ini sangat bermanfaat karena mengurangi potensi konflik, dan menyebabkan orang Kristen mudah diterima di tengah-tengah masyarakat plural.  

Penerapan Praktis 

Apologetika Platinga cocok diterapkan dalam konteks budaya Indonesia yang plural. Sesungguhnya kita semua memiliki suatu keyakinan dasar bahwa Tuhan itu ada tanpa perlu dibuktikan oleh apapun juga.   

Apologetika Platinga mengajarkan kita bahwa kemampuan mencari dan meyakini Tuhan bukan karena usaha kita, tetapi itu adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan dipertanggungjawabkan.

Kita dapat menggunakan model apologetika ini saat berdialog dengan orang atheis. Apologetika ini menjadi pintu masuk bagi mereka yang belum percaya bahkan bagi mereka yang menolak keberadaan Allah. Orang atheis harus diyakinkan bahwa Allah itu ada dan mereka pun harus menyembah Allah.

Kita juga dapat menggunakan metode apologetika Alvin Platinga kepada semua agama yang mengaku dan percaya bahwa Allah ada.

(Hasil Kerja: Dian Chandra, Dominggus, Ekker Saogo)

0 Response to "ALVIN PLATINGA - REFORMED EPISTEMOLOGI"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel