Review buku Pendidikan dan Karakter

  

Pendidikan dan Karakter


Buku ini secara garis besar berisi tentang pendidikan karakter. Adapun tujuan buku ini diterbitkan untuk menambah wawasan dan kesadaran berfikir bagi dunia pendidikan akan pentingnya pendidikan karakter bagi peserta didik. Melalui pendidikan karekter yang sudah dimulai sejak dini dan selalu berkesinambungan, diharapkan akan terciptanya manusia yang berkarakter. 

Pada bab 1, penulis mencoba membukakan potret karakter bangsa yang sudah masuk dalam taraf yang paling mengkhawatirkan. Penulis mencoba melihat beberapa fakta berdasarkan survey bagaimana karakter anak bangsa ini mulai dari remaja sampai kepada orang tua sudah makin menjadi-jadi. Pada tingkat anak remaja dan pemuda misalnya sudah masuk ke dalam kerusakan moral yang parah, baik dari pergaulan bebas, narkoba, tawuran dan tindak criminal. Pada tingkat akademisi, banyak mahasiswa yang menjadi joki ujian PTN demikian sikap plagiarism yang sudah merambah sampai kepada para dosen-dosennya. Belum lagi di tengkat elite politik, dimana banyak dari mereka melakukan praktek-praktek kebusukan politik sehingga tatkala menjadi pemimpin maka tidak jarang dari mereka yang melakukan tindak pidana korpusi. Akhirnya, bab pertama ditutup dengan ulasan betapa pendidikan karekter di Indonesia ini sudah harus menjadi pilihan yang wajib diajarkan di semua bidang pendidikan.

Di bab ke 2, penulis memberikan materi tentang apa itu pendidikan karakter? Disitu penulis mencoba membuka terlebih dahulu tinjauan sejarah pendidikan karakter lalu mengulas tentang karakter dan pendidikan karakter, selanjutnya uraian tentang kekayaan karkater suku bangsa di Indonesia, kemudian dipaparkan tentang karakter utama bangsa dan akhirnya ditutup bab dua ini dengan uraian tentang desain pendidikan karakter. Menyangkut tinjauan sejarah, penulis mengulas pedagog Jerman. Yaitu FW Foerster (1869-1966) sebagai orang mula-mula yang memperkenalkan pendidikan karakter. Selanjutnya penulis menjelaskan tentang arti karakter dan pendidikan karakter sehingga pembaca memahami makna pendidikan karakter itu sendiri yang merupakan pendidikan yang menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada anak didik, sehingga mereka memiliki karakter luhur itu, menerapkan dan mempraktekkan dalam kehidupannya baik di keluarga, di masyarakat atau dalam konteks sebagai warga negara. 

Setelah uraian di atas, lalu penulis juga mengungkapkan tentang kekayaan karakter yang ada di setiap suku-suku di Indonesia. Disini penulis mencoba memberikan salah satu kekayaan karakter dari suku jawa dengan filosofinya “sepi ing pamrih” dan “rame ing gawe” artinya sesuatu tindakan yang tidak disertai dengan keinginan untuk mendapatkan kenikmatan diri sendiri. Memasuki uraian selanjutnya tentang karakter utama bangsa di halaman 42, penulis memberikan ajaran-ajaran mulia untuk pembentukan karakter dari berbagai suku di bangsa ini dengan mengutip kutipan dari Kemendiknas (2010) tentang nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh suku-suku di Indonesia, mulai dari nilai religious, nilai kejujuran, nilai toleransi sampai nilai tanggung jawab, yang kesemuanya ada 18 poin nilai-nilai luhur.

Berkenaan dengan disain pendidikan karakter yang dibahas dalam halaman 44, penulis disini mengutip pola disain dari Kemendiknas (2010) dan penulis menyimupkannya secara  praktis bahwa pendidikan karakter dapat dilakukan melalui 3 disain yaitu, disain berbasis kelas, berbasis kultur sekolah dan berbasis komunitas.

Memasuki bab 3, penulis menguraikan tentang pendidikan karakter di Sekolah. Di bab ini penulis menjelaskan 5 pokok penting, yaitu perlukah pendidikan karakter di sekolah, bagaimana membenahi komponen sekolah, pentingnya pengintegrasian pendidikan karakter, penilaian hasil belajar dan indicator sekolah dan kelas. Mengenai perlukan pendidikan karaker di sekolah maka penulis disini memberikan 9 kerangka pikir pendidikan karakter yang salah satunya ialah sekolah merupakan lingkungan pembudayaan peserta didik untuk mendukung terwujudnya pendidikan karakter. Untuk itu di halaman 69, pada pokok pembahasan ke 2, penulis memberikan masukan agar komponen di sekolah harus dibenahi jika ingin menjadi tempat formal terjadinya pembudayaan pendidikan karakter. Setidaknya ada 4 komponen yang harus dibenahi yaitu, proses pembelajaran di kelas, pengorganisasian pengalaman belajar anak didik, pengembangan kurikulum dan aspek sarana dan prasarana di sekolah yang masih terbatas. 

Pada pokok pembahasan ke 3, penulis menjelaskna soal pengintregasian pendidikan karakter. Dalam pokok ini penulis menjelaskan bahwa pengembangan pendidikan karakter tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan, melainkan terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya sekolah. Setalah terintegrasi, maka di pokok ke 5, yaitu penilaian hasil belajar (hal 96) penulis menjelaskan pentingnya penilaian percapaian pendidikan karakter yang di dasarkan pada indicator. Indikator diperlukan agar penilaian terhadap siswa berkenaan dengan karakter dapat dievaluasi. Lalu diakhir bab 3 ini, penulis memaparkan contoh indicator penilaian berdasarkan Kemendiknas (2010) yaitu indicator untuk sekolah dan kelas, dan yang kedua indicator mata pelajaran.

Memasuki bab 4, penulis menguraikan tentang pendidikan karakter dalam keluarga. Dalam bab ini penulis melihat 5 poin penting, yaitu urgensi pendidikan karakter dalam keluarga, fase-fase perkembangan anak, pola asuh dan karakter anak, teladan orang tua dan strategi internalisasi karakter pada anak. Pada poin pertama, penulis menjelaskan betapa urgennya peran keluarga dalam pendidikan karakter anak. Ini disebabkan lingkungan keluarga lebih memiliki waktu banyak untuk anak bisa berinteraksi sehingga pelajaran karakter sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan orang tuanya atau adik kakaknya. 

Di poin ke dua, penulis menuraikan fase-fase perkembangan anak. Di sini penulis menjelaskan pendapat para ahli perkembangan moral anak dan disimpulkan bahwa waktu yang tepat untuk menanamkan pelajaran moral bagi anak ialah pada usia 5 sampai 17 tahun. Pada usia tersebut peran orang tua sangat menentukan dengan memberikan fasilitas dan membantu proses perkembangan anaknya hingga mencapai tingkat kedewasaan. 

Pada poin ke tiga, penulis menjabarkan tentang pola asuh dan karakter anak. Dalam poin ini, penulis menjelaskan bahwa karakterisitik anak adalah meniru apa yang dilihat, didengar, dirasa dan dialami. Untuk itu karakter mereka akan terbentuk sesuai dengan pola asuh orang tua tersebut. Memasuki poin keempat, penulis menjelaskan tentang pentingnya teladan orang tua yang merupakan factor utama keberhasilan pendidikan kaakter dalam keluarga. Akhirnya di poin kelima, penulis menutup bab ini dengan menguraikan strategi internalisasi karakter pada anak. Secara kongkret dan praktis, penulis dalam poin ini memberikan beberapa strategi implementasi pendidikan karakter anak.

Selanjutnya pada bab 5, penulis membahas masalah pendidikan karakter di perguruan tinggi. Dalam pembahasannya, penulis mengangkat 3 poin penting yaitu, potret buram karakter di perguruan tinggi kita, karakter ideal mahasiswa dan model-model implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi. Pada poin pertama, penulis mengangkat potret buram karakter di perguruan tinggi dengan memaparkan berbagai sifat dan sikap mahasiswa yang lebih cenderung untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bukan bersifat keilmuan (intelektual muda) tapi justru sudah mengarah kepada sesuatu yang sifatnya kesenangan. Ini semua mengakibatkan rusaknya mental mereka sehingga banyak ditemui prilaku moral yang buruk. 

Pada poin dua, penulis mengulas tentang sisi karakter ideal mahasiswa. Di poin ini, penulis membahas tentang bagaimana memanfaatkan karakter ideal mahasiswa dengan memberikan jalan keluar melalui kemampuan kekuatan individunya dan membekalinya dengan kewirausahaan. Dalam poin ini, penulis menjelaskan banyak tentang konsep kewirausahaan yang harus dimasukkan dalam dunia pendidikan di kampus sehingga mahasiswa mampu dibekali dengan hal tersebut. 

Pada poin tiga, penulis membahas model-model implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi. Menurut penulis, bahwa implementasi pendidikan karakter di perguruan tinggi harus masuk ke dalam semua aspek, baik dari sisi kegiatan kurikuler, kokulikuler dan ekstrakulikuler. Demikian peran serta dosen pun harus mampu menjadi pengajar, innovator, fasilitator dan pembimbing mahasiswa.

Memasuki bab 6, sebagai bab penutup dalam buku ini, penulis menyimpulkan bahwa untuk memperbaiki karakter bangsa maka perlu mengoptimalkan pendidikan karakter baik di sekolah, keluarga dan perguruan tinggi dan harus melibatkan semua unsure, baik tenaga pendidik, orang tua dan pemerintah.

2. Pokok Pikiran dalam Bab.

Pada Bab 1, saya melihat salah satu pokok pikiran mengenai keprihatinan penulis soal kondisi moralitas dan tergadainya karakter sebagian generasi muda bangsa ini. Saya mengutip perkataan penulis dalam halaman 16 paragraf ke 2 yang berbunyi: “kita semua tentu tidak  ingin bangsa ini hancur. Alangkah sedihnya bapak bangsa dan pejuang bangsa, yang sudah bersusah payah merebut kemerdekaan dengan tetesan keringat, darah dan air matam melihat hasil perjuangan tak tersisa akibat kehancuran. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang salah dengan bangsa ini, sehingga sebahagian besar generasi muda dan generasi tua telah tergadaikan karakternya. Moralitas, budi dan susila, telah absen dari kehidupan mereka, hingga tak tersisa sedikitpun”. Apa yang dirasakan oleh penulis yang diamatinya berdasarkan survey dan berita yang akurat tentang kondisi krisis moral bangsa ini, secara khusus bagi generasi muda, tidak bisa dianggap enteng. Menurut saya keprihatinan ini menunjukkan gejala runtuhnya suatu bangsa, sebab bangsa yang maju ialah bangsa yang memiliki generasi muda yang berkarakter, jika tidak, maka negara ini akan digerogoti dan menuju kepada kehancuran.

Keprihatinan ini justru harus menyadarkan semua kalangan, keluarga, masyararakat dan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mengambil langkah-langkah strategis, menyeluruh (holistic) dan berkesinambungan. Salah satu langkah yang harus ditempuh ialah dengan mengaitkan tugas dan tanggung jawab semua unsur (elemen) masyarakat dan pemerintah untuk melakukan dengan segera pendidikan karakter lewat dunia pendidikan formal dan juga non formal serta informal. Perubahan moralitas bangsa hanya bisa dirtempuh lewat dunia pendidikan dan dunia pendidikan merupakan tindakan preventif terhadap prilaku krakter bangsa yang sudah sangat memprihatinkan.

Jika melihat kondisi moral yang dilakukan mulai dari anak-anak, remaja, pemuda bahkan orang tua, termasuk juga prilaku para birokorat, politisi dan pemerintah sudah sangat keterlaluan. Jika mata rantai prilaku moral yang tidak baik ini tidak diputuskan, maka akan terus terwariskan hingga generasi ke generasi. Contoh misalnya soal korupsi di jaman Orde Baru, sekalipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi tetapi tetap saja marak dan berjalan. Namun banyak rakyat berharap saat memasuki Orde Reformasi, akan terjadi “revival” bagi karakter bangsa ini, yaitu bangsa yang bersih dari prilaku moral yang kotor, sehingga budaya korupsi bisa dihilangkan dari bumi Indonesia ini. Tetapi apa yang terjadi? Justru prilaku korupsi tidak hilang dan budaya itu tetapi “terjaga”, namun hanya caranya saja yang berbeda. Jika di jaman Orde Baru, korupsi terjadi di tingkat pusat karena kebijakan yang sarat dengan sentralisasi, tetapi saat jaman Orde Reformasi justru sebaliknya, prilaku korupsi masuk sampai ke daerah-daerah karena kebijakan desentralisasi (otonomi daerah). Tentu bukan kebijakan pemerintahnya yang salah melainkan prilaku karakter anak bangsa ini yang terus menerus terwarkan.

Jadi, pada intinya, pendidikan karakter merupakan pilihan yang sudah harus diwujudnyatakan di Indonesia ini. Tentu pendidikan karakter ini harus dilaksanakan secara komprehenasif-integral, baik melalui pendidikan formal, in formal dan nonformal dan harus dikerjakan oleh semua kalangan yaitu dunia pendidikan, pemerintah, sekolah, masyarakat dan keluarga.

Pada Bab 2, saya melihat pokok pikiran yang muncul dalam bab ini yaitu mengenai pendidikan karakter itu sendiri dan bagaimana disain pendidikan karakter itu. Berkenaan dengan pendidikan karakter, saya mengutip dua pernyataan penulis dalam halaman 34 yaitu: “pendidikan karakter adalah suatu system penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah, yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut”. Lalu kutipan ke dua di halaman 35, yaitu: “pendidikan karakter ialah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa pada diri peserta didik, sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religious, nasionalis, produktif dan kreatif”. Berdasarkan dua kutipan tersebut, saya melihat esensi pendidikan karakter ini ialah bagaimana melaksanakan sistem penanaman nilai-nilai karakter dan mengembangkan nilai-nilai tersebut kepada anak didik. Hal ini sangatlah penting sebab jika suatu bangsa mampu untuk melaksanakan sistem penanaman nilai-nilai karakter dan mampu mengembangkan nilai-nilai tersebut kepada anak didik, maka bangsa tersebut akan mendapatkan generasi yang memiliki karakter yang tinggi.

Masalahnya yang terjadi saat ini ialah, bangsa ini belum mampu untuk melaksanakan sistem penanaman nilai-nilai karakter, apalagi untuk mengembangkan  nilai-nilai tersebut kepada anak didiknya. Adanya tumpang tindih tanggung jawab siapa yang berkepentingan untuk melaksanakan tugas pendidikan karakter ini masih terjadi. Apakah ini hanya tanggung jawab guru agama semata? Guru PKn? Guru-guru yang mengajar mata pelajaran moral? Atau semua guru di sekolah? Artinya, bagaimana mungkin penanaman nilai-nilai karakter bisa berjalan dengan baik jika masih terjadi lempar tanggung jawab antar guru. 

Persoalan kedua yang muncul ialah, seringnya ditemui sikap guru yang tidak memberikan teladan kepada anak didiknya, baik sikap yang disadari atau yang tidak disadari oleh guru tersebut, baik dalam mengajar maupun sikap hidup sehari hari. Contoh, masih ada saja guru yang tidak konsisten dalam mengajar, khususnya guru-guru di Sekolah Negeri yang tidak tertib soal waktu dalam mengajar. Masih ada juga guru-guru yang memberikan disiplin kepada siswanya dengan cara-cara yang sudah tidak manusiawi. Bahkan lebih jauh dari hal itu, saat ini di beberapa sekolah telah terjadi penyelewengan dana BOS yang dilakukan oleh Kepala Sekolah dan guru-guru yang terkait. Tentu semua hal di atas menjadi kendala serius bagi penanaman nilai-nilai karakter bagi peseta didik. Itu sebabnya keteladanan guru sebagai tenaga pendidik mutlak perlu diperhatikan  sehingga tidak menjadi salah satu penghalang bagi pendidikan karakter.

Berkenaan dengan disain pendidikan karakter, pokok penting yang saya dapat dalam pembahasan ini ialah berkenaan dengan pembahasan desain pendidikan karakter perlu diperthatikan, yaitu: 

1. Pendidikan karakter harus dengan upaya pendekatan sitematik dan integrative dengan melibatkan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, anggota legeslatif, media massa, dunia usaha dan dunia industri (hal. 45).

2. Pendidikan karakter harus memperhatikan syarat utama yaitu: teladan para guru dan seluruh pemangku kebijakan sekolah, pendidikan karakter harus dilakukan secara konsisten dan terus menerus, dan para guru harus menyelipkan nilai-nilai pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajaran (hal 45).

3. Pendidikan karakter harus didasarkan pada totalitas psikologi yang mencangkup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat (hal 46). 

Ketiga hal di atas merupakan hal penting dalam memahami tentang desain pendidikan karakter. Mengapa penting? Sebab pendidikan karakter tidak bisa dilaksanakan tanpa pendekatan yang sistematik dan integrative yang melibatkan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil dll. Jika tidak maka pendidikan karakter akan berjalan pincang sebab tidak didukung oleh elemen-elemen di atas. Sebab kedua, dikatakan penting karena pendidikan karakter juga membutuhkan lembaga formal seperti sekolah dimana seluruh tenaga pendidik harus mampu menjadi teladan dan harus terintegrasi dengan mata pelajaran lainnya di sekolah. Sebab ketiga, dikatakan penting sebab pendidikan karakter juga menyangkut totalitas psikologis dan sosiokultural. Maksudnya bahwa pendidikan katakter juga harus menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat. 

Pada bab 3, penulis member judul “pendidikan karakter di sekolah”. Salah satu aspek keberhasilan pendidikan karakter di sekolah ialah dengan membenahi komponen sekolah. Adapun beberapa komponen sekolah yang dimaksud ialah: pengembangan kurikulumnya dan memperbaiki kompetensi, kinerja dan karakter gurunya. Saya menyoroti pernyataan penulis dalam kaitannya dengan perbaikan kompetensi, kinerja dan karakter guru. Pada halaman 76, paragraph pertama, penulis mengatakan: “guru adalah actor utama, sekaligus yang menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Dikaitkan dengan pendidikan karakter, peranan guru sangat penting. Selain harus memiliki pemahaman, ketrampilan dan kompetensi mengenai karakter, guru juga harus memiliki karakter-karakter mulia itu di dalam dirinya sendiri, sebagai bagian dari hidupnya…hal itu menjadi penting karena bagaimana mau mengajari anak didik tentang pendidikan karakter, sementara yang bersangkutan tidak memahaminya”. 

Saya melihat kutipan di atas sangat penting, sebab, dikatakan guru adalah actor utama, sekaligus yang menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran, termasuk  pembelajaran karakter. Sebagai “actor” guru adalah pelaku utama proses pendidikan. Ia bukan sebagai pemeran figuran yang berfungsi sebagai pelengkap, yang fungsinya tidaklah menentukan. Sebagai pelaku utama, guru harus menjiwai kehidupannya sebagai tenaga pendidik. Untuk menjiwai dirinya sebagai tenaga pendidik, maka guru harus menguasai dan memperlengkapi dirinya dengan karakter yang mulia. Melalui karakter yang mulia ini, maka guru mampu memberi teladan hidup yang baik kepada peserta didik. Sebenarnya hakekat dari pendidikan karakter ialah pendidikan dengan teladan hidup. Sebab pendidikan karakter tidak boleh hanya menyentuh aspek kognitif saja menainkan juga afektif dan psikomotorik, sehingga pendidikan karakter ini mampu menyentuk sikap dan prilaku peserta didik. 

Disinilah sebagai seorang tenaga pendidik guru harus terus menerus berusaha memperbaiki dan mempertajam nilai panggilannya sebagai guru yaitu dengan penghayatan akan tugas dan profesinya. Indikator dari semua itu akan terlihat dari komitmennya, integritasnya, kompetensinya, kerja kerasnya dan konsistensinya. 

Namun sangat disayangkan, jika kita menilik kinerja guru saat ini, sekalipun tidak semua, masih ada saja guru yang tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai pendidik karakter. Kadang masih saja terlihat guru-guru yang mengajar bidang mata pelajaran di luar pendidikan karakter terlampau acuh dan hanya terpola kepada tugasnya untuk mengajar bidang tertentu tanpa menyadari bahwa seharusnya mata pelajaran yang diampunya haruslah terintegrasi dengan pendidikan karakter. 

Fakta lain ialah masih jarang terlihat interaksi guru dengan murid di luar lembaga sekolah. Bagi sebahagian guru, tugasnya hanyalah di sekolah sebagai guru (pendidik), di luar sekolah, ia hanyalah masyarakat biasa yang kembali terjun mengurusi rumah tangganya, jika ia sudah berumah tangga, atau mengurusi hobbi dan kesenangannya, jika ia masih muda. Padahal interaksi antara guru dan murid di luar sekolah sangat membantu terciptanya pendidikan karakter, karena siswa tidak hanya tertib hidupnya di sekolah melainkan juga terbina hidupnya di luar sekolah akibat adanya selalu interaksi dengan gurunya. Tentu yang dimaksud, bukan berarti guru mengambil peran orang tua murid di luar sekolah atau guru harus memantau murid 24 jam di luar sekolah. 

Pada bab 4, penulis melihat pokok pikiran yang muncul dalam pembahasan tentang pendidikan karakter dalam keluarga ialah, tentang urgensi pendidikan karakter tersebut dalam keluarga. Mengapa sangat dikatakan urgensi? Saya melihat kutipan-kutipan dari penulis buku ini, antara lain dalam halaman 105, yaitu: “keluarga dalah sarana pendidikan non-formal yang paling dekat dengan anak. Kontribusinya terhadap keberhasilan pendidikan anak didik cukup besar. Rata-rata anak didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya 7 jam per hari, atau kurang dari 30 persen. Selebihnya (70 persen), anak didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya”. Kutipan kedua, yaitu pada halaman 107, paragraph ke 2, “hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun atau…Peningkatan kecerdasan sekitar 30 persen berikutnya terjadi pada usia delapan tahun, dan 20 persen sisanya pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dengan demikian, mejadikan keluarga sebagai lingkungan pertama bagi pertumbuhan anak, adalah langkah yang tepat”. 

Berdasarkan dua kutipan penulis tersebut, ada dua alasan yang membuat urgensi pendidikan karakter dalam keluarga yaitu: dilihat dari jumlah prosentase kehadiran anak dalam keluarga jauh lebih besar di banding lingkungan sekolah dan lingkungan tetangganya. Artinya, orang tua tidak akan kehabisan waktu untuk mendidik karakter anaknya sejak dari kecil. Lalu, orang tua juga harus memanfaatkan waktu mendidik karakter anaknya sebelum dia akan beranjak dewasa. Kedua, dilihat dari hasil penelitan bahwa 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia empat tahun. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan anak lagi-lagi ditentukan oleh buah kedisiplinan, kasih sayang dan perhatian orang tua dalam melakukan pendidikan karakter terhadap anaknya. Hal ini sangatlah penting diperhatikan, sebab ditangan orang tua-lah maka nasib anak akan ditentukan dikemudian hari. Ini berarti, penentuan keberhasilan hidupnya bukan ditentukan saat dia remaja, atau saat pemuda bahkan saat telah menjadi orang tua. 

Dengan demikian, konsekuansi yang harus dihadapi oleh para orang tua ialah pentingnya teladan yang baik mampu diberikan seumur hidup kepada anaknya, terkhusus saat dia memasuki usia kanak-kanak. Anak merupakan peniru yang pandai, yang cepat menangkap dan mengulangi semua hal yang dilihat dan diperhatikannya. Dengan demikian, teladan yang diwarsikan orang tuanya merupakan bekal yang berharga baginya kelak. Jika orang tua salah dalam memberi teladan (teladan yang buruk), maka jangan harap para orang tua akan menuai anak-anaknya yang baik dan berhasil dikemudian hari. Justru  mereka akan menjadi beban orang tua karena selalu menjadi pembuat masalah (truble maker). Maka itu, orang tua harus tetap mengawasi dirinya di dapan anak dan harus tetap menjaga konsistensi dalam melakukan prinsip tindakan dan keputusan yang dia ambil dan lakukan. 

Berkenaan dengan itu juga, pentingnya pola asuh bagi perawatan mental dan karakter bagi anak sejak kecil, sangatlah menentukan. Keluarga adalah agen yang paling menentukan bagi perkembangan karakter anak. Pendidikan karakter bagi anak tidak bisa digantikan oleh orang lain atau lembaga pendidikan manapun. Jika kita melihat kondisi saat ini, tentu tidak mudah bagi orang tua berperan menjadi agen dalam pendidikan karakter anak. Khususnya bagi suami istri yang tinggal di kota dimana tuntutan kebutuhan hidup membuat mereka harus sama-sama bekerja, sehingga anak hanya dititip kepada pengasuh atau baby sister. Sudah barang tentu waktu anak akan habis dalam pengasuhan baby sister, yang belum tentu mampu bertanggung jawab membentuk karakter anak. Demikan juga bagi sebahagian orang tua yang menitipkan perawatan anaknya kepada kakek dan neneknya. Sangat sulit dibayangkan apa yang terjadi dengan pendidikan karakter bagi si anak, yang harus dilakukan oleh seorang kakek dan nenek, dimana mereka sudah terlalu tua untuk bertanggung jawab bagi pembinaan jiwa anak yang masih balita atau masih kecil. 

Sisi lain yang menjadikan penting ialah bagaimana model keluarga yang dapat menjadi agen dalam pembentukan karakter anak. Tentu banyak model (potret) keluarga yang muncul akibat karakter yang dibentuk oleh orang tuanya sendiri. Saya melihat banyak jenis potret keluarga yang menjadi penghambat dalam pendidikan karakter anak. Ada keluarga protektif yang selalu memprotek anak-anaknya sehingga mereka terbentuk menjadi anak-anak yang tidak berkembang dan penakut bahkan tidak mandiri. Keluarga ini terlalu melindungi anak-anaknya dan tidak memberikan kesempatan bagi anak untuk diajar bertanggung jawab. Bagi keluarga kacau, dimana baik ayah dan ibunya yang memang sudah masuk kategori rumah tangga yang memiliki latar belakang bermasalah, maka anak-anak akan dibentuk memiliki karakter kacau. Demikian juga bagi keluarga simbiosis, dimana anak-anak akan dibentuk menjadi orang yang bergantung dan tidak memiliki kepercayaan diri. Anak-anak dalam keluarga simbiosis hanya diikat untuk ke dalam saja dan tidak memberi ruang untuk bersosialisasi. Hanya keluarga seimbang yang mampu menyeimbangkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua dan pekerjaan, dimana keluarga ini juga selalu hidup rukun, damai dan harmonis. 


0 Response to "Review buku Pendidikan dan Karakter "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel