Hakekat Pendidikan PAK

                         

Secara garis besar buku ini menjelaskan dengan singkat dan padat tentang apa hakekat PAK, mengapa melakukan tugas PAK, dimana hubungan PAK, bagaimana melakukan cara tugas PAK, kapan persiapan perserta didik dalam PAK dan siapa kopartner dalam PAK. Daniel Nuhamara sebagai penulis buku ini mampu menjelasan materinya dengan singkat, padat juga sistematis, sehingga buku ini mudah dibaca, dicerna dan dimengerti oleh kaum awam. Bahkan buku ini sekalipun diwarnai banyak oleh pimikiran Thomas H Groome seorang pakar PAK terkemuka, namun Daniel Nuhamara tetap menempatkannya dalam konteks Indonesia. 

Ada beberapa hal yang menarik yang bisa diambil dari buku ini. Pertama, yaitu dalam pembahasan tentang apa, mengapa, dimana, bagaimana, kapan dan kepada siapa PAK itu, terlihat jelas bahwa penulis ingin menekankan bahwa PAK itu bukan di kotakkan hanya sebuah “mata pelajaran” di sekolah dan di kampus-kampus, tetapi jauh dari itu PAK merupakan tugas para pendidik Kristen untuk meningkatkan hidup iman anak-anak Tuhan sehingga mampu menjadi orang-orang yang dewasa rohani. Tugas ini harus terjadi dalam segala konteks, entah itu keluarga, gereja (masyarakat) dan sekolah. Bahkan dengan penjelasan apa, mengapa, siapa, kapan dan bagaimana PAK itu, penulis ingin menjelaskan kepada pembaca, bahwa PAK itu bukan soal pemaparan teori, tapi jauh lebih penting dan yang menjadi sasaran PAK ialah membuat pendidik Kristen mampu menemukan dan mengembangkan startegi belajar mengajar yang praktis, pola-pola dan bahan-bahan pengajaran praktis yang mampu menyentuh dan membawa peserta didik mengalami perubahan-perubahan rohani. 

Kedua, dalam bab 3 dan bab 4, penulis memberikan konsep tentang kontribusi PAK yang dibahasakan oleh penulis ialah “setting” PAK terhadap tiga objek penting yaitu: keluarga, gereja dan sekolah. Dalam hal ini, penulis mencoba menjelaskan pentingnya peran PAK terhadap ke tiga obyek tersebut, sekaligus menjelaskan landasan teologisnya dan peranan-peranan PAK secara praktis. Terlihat disini bahwa penulis menjelaskan konteks PAK seraca jelas dan spesifik. Penulis juga memberikan contoh-contoh praktis dari peran PAK terhadap keluarga, gereja dan sekolah. Tentu ini sangat menolong pembaca untuk memahami bahwa peran PAK sangat penting dalam pembinaan masyarakat Kristen dalam berbagai konteks. Bagi sebagian orang tua yang membaca buku ini, mereka ditantang untuk menyadari perannya sebagai “agen” Allah untuk mendidik anak mereka di rumah dalam pertumbuhan kerohaniannya. 

Jika melihat kondisi sekarang ini, justru banyak orang tua jarang melakukan perannya sebagai pendidik kerohanian anak. Ini semua akan berakibat hancurnya generasi muda akan masa depannya karena fungsi orang tua sebagai pembina rohani anak tidak lagi berfungsi. Ada tiga hal penting yang menjadi penyebab terhadap hal tersebut. Pertama, bahwa saat ini perkembangan-perkembangan pendidikan formal sudah banyak bermunculan sehingga peran orang tua mulai tergeser dan jarang mendapat tempat untuk menjadi pendidik rohani bagi anaknya, misalnya: sekolah, lembaga-lembaga kursus/ les, gereja (sekolah minggu) dan lain-lainnya. Kedua, banyak orang tua yang tidak memiliki pendidikan yang memadai sehingga mereka mempercayakan pendidikan untuk anaknya dalam hal akademis, prilaku dan kerohanian kepada guru-guru yang professional. Ketiga, dengan meningkatnya kebutuhan hidup, maka banyak orang tua yang waktunya habis untuk mencari uang sehingga tidak ada waktu lagi untuk mendidik anak dalam kerohanian. Tentu peran gereja sangat penting untuk menyadarkan para orang tua, itu sebabnya setting PAK dalam konteks gereja juga sangat penting.

Satu lagi hal yang menarik perhatian saya ialah tentang “setting PAK dalam jemaat lokal”. Penulis mengatakan bahwa perlu dikembangkannya “PAK kategorial” di dalam gereja lokal, sebab di dalam jemaat perlu disadari adanya kekhasan tiap-tiap kelompok usia dari segi kebutuhan, minat, persoalan maupun tingkat kebutuhannya. Itu sebabnya penulis mengusulkan perlunya dikembangkan PAK kategorial, baik PAK Anak-anak, PAK Remaja, PAK Pemuda, PAK Wanita, serta PAK Orang Dewasa. Bahkan penulis juga menambahkan PAK Katekisasi perlu diberikan secara khusus lewat pembentukan kurikulum khusus. 

Melihat fakta yang ada saat ini, perlu diakui bahwa banyak gereja yang tidak memiliki program PAK kategorial. Kalaupun persekutuan kategorial di gereja berjalan, namun semua bahan-bahan khotbah atau pengajaran tidak terintegrasi, tidak terancang dan tidak terencana. Perjalanan pelayanan tahun demi tahun hanya berjalan mengalir saja sehingga tidak memberi dampak pertumbuhan iman jemaat secara umum. Jika terjadi kemerosotan iman jemaat, maka yang dilakukan ialah membuat program kebaktian kebangunan rohani (KKR) atau kebaktian penyegaran rohani (KPR) yang sebetulnya sekalipun ibadah tersebut bisa dilakukan tapi bukan karena dijadikan satu-satunya jalan keluar (solusi) agar iman jemaat kembali bertumbuh. Tentu jika ada progam PAK kategorial yang terencana, terpola dan terealisasi maka dengan sendirinya gereja akan melihat pertumbuhan iman jemaat. Namun jika pelayanan di bidang kategorial berjalan tanpa target dan tujuan yang jelas, maka pastilah hal ini  menyebabkan pertumbuhan jemaat secara rohani tidak tercapai dan jemaat akan sulit menjadi orang Kristen yang dewasa secara iman. 

Masih sehubungan dangan PAK kategorial, penulis buku ini memberikan pendapatnya bahwa tidak boleh ada pengkhususan atau perbedaan antara PAK kategorial yang satu dengan yang lainnya. Contoh bahwa PAK orang dewasa jauh harus lebih diprioritaskan, dikembangkan dan diperdalam bahkan diintensifkan dibanding PAK lainnya. Mungkin mereka berpendapat bahwa orang dewasa sebagai generasi yang sedang bertumbuh layak untuk mendapat prioritas pelayanan, jika tidak maka mereka akan lari berpindah ke gereja lain atau iman mereka tidak bertumbuh dan akan berakibat mundurnya pertumbuhan kualitas dan kuantitas gereja. Tentu konsep ini tidaklah baik dan benar, sebab PAK untuk tiap-tiap kategori usia memiliki signifikansi yang khusus, bahkan hampir semua kategori usia penting untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan iman Kristen. Jika salah satu PAK jenis kategori usia tertentu diabaikan maka itupun akan berakibat hilangnya generasi gereja yang selama ini diharapkan untuk menjadi tiang-tiang penerus perkembangan gereja secara khusus. Contoh misalanya diabaikannya PAK sokolah minggu, atau PAK remaja, maka tentu dikemudian hari, pertumbuhan anak sekolah minggu dan remaja yang akan menjadi penerus gereja pada khususnya akan mengalami kemerosotan dan kemunduran iman saat mereka dewasa. 

Kalau kita melihat fenomena gereja saat ini, maka kecenderungan memprioritaskan PAK kategori usia tertentu dan mengabaikan PAK kategori usia yang lain kadang kerap terjadi. Kadang gereja melakukan tindakan ini dikarenakan pertimbangan-pertimbangan akal (untung rugi) atau juga pertimbangan dari sisi urgensinya. Mereka tidak melihat jauh ke dalam betapa pentingnya PAK setiap kategori umur itu berpengaruh kepada pertumbuhan iman jemaat secara regenerasi. Jika gereja mengabaikan PAK kategori yang satu dan memprioritaskan PAK kategori yang lain maka tetap saja perjalanan pertumbuhan iman jemaat pincang dan tersendat-sandat. Adakalanya gereja memberikan bentuk perhatian kepada PAK sekolah minggu contohnya, jauh lebih sedikit di banding dengan PAK pemuda atau PAK PW atau PAK orang dewasa. Dari sisi dana misalnya, atau dari sisi program dan juga dari sisi pelatihan-pelatihan guru-guru sekolah minggu yang hanya mendapatkan porsi perhatian gereja yang seadanya. 

Sebanarnya semua jenis PAK kategorial sangatlah penting dan harus diberikan porsi prioritas yang sama. Semua sangat dipentingkan dan semua harus sama-sama dibangun dalam kesatuan program gereja yang terintegrasi dan terevaluasi. Sebab semua umat harus mendapatkan perhatian yang sama dari segala umur agar mereka semua dapat bertumbuh ke arah kedewasaan rohani yang penuh dan tingkat kebutuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Efesus 4:13). Jika gereja mampu memberi perhatian yang sama terhadap PAK kategorial maka gereja itu akan bertumbuh, berbuah dan berakar sangat kuat dari generasi ke generasi sekanjutnya.

Selanjutnya ada juga hal penting yang perlu di bahas yaitu tentang materi PAK kategorial. Kadang materi PAK kategorial di beberapa gereja tertentu tidak terevaluasi dengan baik. Buku-buku materi pelajaran yang selama ini dipakai tidak ditunjang dengan perubahan materi sesuai dengan kebutuhan jaman ini sehingga para jemaat mulai dari anak sekolah minggu dan orang dewasa mengalami kejenuhan. Pada hal materi PAK kategorial perlu dievaluasi dan disesuaikan dengan situasi konteks jamannya, sehingga materi itu mampu menjawab pergumulan sesuai dengan usianya. PAK sekolah minggu misalnya harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi kebutuhan anak di jaman modern, sehingga gereja mampu memilah materi pengajaran yang lebih kontekstual. Demikian PAK remaja dan PAK pemuda mempunyai karakteristik tersendiri sebab masa remaja dan pemuda adalah masa transisi, masa keterbukaan, masa bertanya dan masa pengambilan keputusan yang sangat penting. Pola pertumbuhan dan perkembangan remaja dan pemuda pun sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pergaulan serta perkembangan jaman, itu sebabnya materi PAK remaja pemuda harus terus dievaluasi sehingga mampu menjadi kontribusi bagi pembinaan iman mereka. 

Sangat disayangkan memang, jika materi-materi PAK kategorial hanya diberikan tanpa adanya evaluasi agar mampu menjawab tantangan kebutuhan jemaat gereja. Di beberapa gereja, justru ada yang mempercayakan penunjukkan bahan materi PAK hanya kepada para pengurus kategorial tanpa keterlibatan para majelis dan gembala jemaat yang harus duduk bersama untuk mengambil sikap terhadap materi-materi PAK. Memang masih banyak fakta-fakta yang terjadi di beberapa gereja sehubungan dengan hambatan-hambatan mengenai materi PAK kategorial, mulai dari tanggung jawab gereja dalam memilih bahan-bahan materi, mengevaluasinya sampai kepada keseriusan gereja dalam memahami PAK kategorial yang adalah bidang pelayanan yang sangat menentukan pertumbuhan iman jemaat dan pertumbuhan gereja.

Sehubungan dengan PAK orang dewasa, salah satu pergumulan yang dialami oleh banyak pendeta ialah minat kehadiran jemaat untuk menghadiri pembinaan tersebut sangat kurang. Sebagai pendeta, saya juga mengalami hal yang sama. Sebaliknya, banyak jemaat mau berpartisipasi untuk ikut dalam ibadah-ibadah yang sifatnya besar dan bernuansa perayaan. Fenomena ini sudah sering dialami oleh banyak gereja, sehingga gereja terpancing untuk membuat program-program pembinaan jemaat yang sifatnya perayaan. Misalnya KKR, seminar sehari, lokakarya, ret-reat, kebaktian padang dan lain-lain. Persoalannya ialah sering kali program-program ini menyita banyak dana dan tenaga tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, sebab jenis program seperti ini hanya sesekali (temporer) dan kurang serius di follow-up. Namun tidak bisa dipungkiri justru program seperti ini sangat banyak diminati oleh jemaat. Padahal, jika jemaat setia berpartisipasi masuk dalam pembinaan PAK kategorial, secara khusus PAK orang dewasa, maka pengetahuan dan pertumbuhan iman mereka akan terbina dengan baik. Sebab PAK kategorial menuntun jemaat secara bertahap dan berkesinambungan lewat program yang sudah terukur dan terencana. 

Untuk itu perlu dicari solusi bagaimana membuat jemaat memiliki minat dan semangat mengikuti PAK orang dewasa. Mungkin salah satunya ialah dengan memberikan peahaman penting tentang arti dan makna PAK orang dewasa kepada jemaat. Hal lain, bisa juga memberikan warna lain dalam program PAK orang dewasa dimana adanya kreatifitas dalam metode mengajar atau tekhnik mengajar. 

Akhirnya, PAK kategorial merupakan pola terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan iman jemaat. PAK kategorial yang didisain dan dilaksanakan sesuai dengan kelompok usia, dimana bahan-bahan pengajaran telah dirancang dan disesuaikan dengan tingkat kebutuhannya serta target-target dan evaluasi telah disusun sedimikian rupa, maka harapan akan meningkatnya kualitas iman jemaat akan terwujud, yaitu iman yang berbuat. Kita akan melihat jemaat yang melakukan tindakan iman dalam kehidupan sehari-hari bahkan melaksakanan tindakan iman tatkala mereka sedang mengalami pergumulan hidup. Inilah yang diharapkan oleh penulis bahwa target PAK bukan pada tingkat iman sebagai kepercayaann (believing) dan iman sebagai keyakinan (trusting), melainkan iman sebagai tindakan (doing). 

Terakhir tentang setting PAK di sekolah. Penulis coba mengangkat pentingnya PAK di sekolah-sekolah sebenarnya memiliki peran sentral bagi para peserta didik. Namun bagi saya, yang menjadi pokok persoalan sekarang ialah bukan hanya soal mata pelajaran agama Kristen di sekolah, tetapi jauh dari itu ialah soal kehadiran dan peran guru-guru yang beragama Kristen di sekolah-sekolah Kristen, sekolah-sekolah negeri atau swasta non-Kristen. Artinya, bagaimana sekarang peran mereka menjadi guru yang berakhlak Kristen mampu menjadi garam dan terang bagi peserta didiknya sekalipun ia tidak mengajar mata pelajaran agama Kristen. Dengan menjadi guru pada bidang mata pelajaran non agama misalnya, maka guru-guru beragama Kristen ditantang menjadi guru yang profesional dalam bidangnya. Mereka harus mampu menjadi teladan dalam karakter dan prilaku sehingga mencerminkan kehidupan Kristen yang baik dimata peserta didiknya yang non Kristen. Bahkan, jika mereka mampu mengangkat para muridnya bisa berprestasi di bidang mata pelajaran yang diajarnya, maka ini adalah sebuah poin penting yang membawa dampak positif bagi pendidik dan peserta didik lainnya. Guru yang beragama Kristen harus membuang konsepnya sebagai profesi, sekalipun memang profesinya adalah guru. Sebab jika ia terus memahami bahwa tugasnya sebagai profesi, maka yang diembannya ialah tugas dan kewajiban. Namun sebenarnya di mata Allah seorang guru beragama Kristen ialah pelayan yang hidupnya harus menjadi terang dan garam sekalipun ia berprofesi sebagai guru yang mengajar mata pelajaran non-agama. 

Kondisi yang kita lihat saat ini ialah banyaknya guru-guru Kristen non PAK yang merasa bahwa mereka adalah guru yang bukan mengajar agama Kristen. Maksudnya bahwa mereka sama dengan guru-guru non Kristen yang hanya berprofesi sebagai guru. Jadi mereka hanya berkewajiban mengajar lalu pulang tanpa ada beban tanggung jawab bahwa dirinya adalah bagian dari pelayan Tuhan yang memang diutus untuk menjadi guru yang membawa terang bagi anak didiknya. 

Banyak sekali hal-hal rohani yang dapat dilakukan oleh guru-guru Kristen yang mengajar di luar PAK. Teladan yang paling pas bagi para pendidik Kristen agar mereka mampu menjadi guru yang professional dan rohani ialah Yesus Kristus. Melalui teladan Yesus, maka guru Kristen terpanggil untuk memberi jalan keluar bagi murid yang sedang bermasalah dalam bidang mata pelajarannya. Sama seperti Yesus, maka seorang guru Kristen juga terpanggil untuk menjadi teladan lewat ketegasannya dalam mendidik anak, kesabarannya dalam melayani peserta didik dan ketenangannya dalam menghadapi murid yang bermasalah. Bahkan perbuatan Yesus yang selalu datang memulihkan seorang berdosa mengakibatkan guru Kristen juga mampu mengangkat dan memulihkan siswa didiknya untuk berprestasi dalam studinya. 

Jelasnya bahwa PAK, bukan hanya soal materi saja dan bukan sekedar teori yang diajarkan di sekolah-sekolah, namun jauh dari itu ialah bagaimana PAK harus menjadi kontribusi untuk melengkapi guru-guru beragama Kristen agar mereka menyadari posisinya dan mampu manjadi garam dan terang lewat profesinya. 

Ada yang menarik lagi dalam buku ini, yaitu tentang kopartner dalam PAK. Di sini penulis ingin memberikan makna baru tentang hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Makna baru itu ialah hubungan antara pendidik dengan peserta didik sebagai partnership, yaitu hubungan yang dalam dan bukan semata-mata terbatas kepada fungsi dan jabatan masing-masing. Adapun tujuan dari kopartner ini ialah agar tujuan PAK menjadikan siswa didik memiliki nilai spiritualitas Kristen yang baik dan bertumbuh.

Dalam kopatner ini, penulis coba mengangkat identitas pendidik dan peserta didik dari sudut teologis antropologis. Dari sisi peserta didik, mereka adalah subyek dan bukan obyek, sebab Alkitab menyatakan bahwa meraka adalah manusia yang diciptakan menurut gambar Allah. Peserta didik dan pendidik sedang dalam perjalanan bersama, yang mempunyai panggilan dan juga hak untuk bertumbuh dalam kesegambaran dengan pencipta. Itu sebabnya jika pendidik memperlakukan peserta didik sebagai obyek berarti kita sedang menghambat proses tersebut. Dengan kata lain, peserta didik bukanlah obyek yang dapat diperlakukan atau dibentuk menurut kemauan pendidik, melainkan sebagai subyek dalam hubungan kesalingan dan kesamaderajatan. Artinya, PAK seharusnya merupakan hubungan kopartner subyek ke subyek, antara pendidik dan peserta didik.

Sebagai pendidik, penulis menjelaskan secara teologis bahwa pendidik adalah pelayan (didaskaloi, 1 Kor. 12:28 dan Ef. 4:11). Artinya pendidik memiliki peran penting sebagai pelayan Tuhan baik di gereja, disekolah maupun di keluarga. Sebagai pelayan, berarti pendidik mewakili Kristus untuk melaksanakan tugas PAK yang membawa mereka kepada pengenalan akan Allah dalam Yesus dan membawa mereka terus menerus untuk mewujudkan firman dalam hidup peserta didik. Itu sebabnya dalam rancangan Allah yang besar, maka pendidik sebagai pelayan telah  dibawa kepada hubungan partnership atau kemitraan dengan peserta didik. 

Saya melihat, bahwa saat ini masih banyak pendidik dalam PAK memahami pola pendidikannya tidak berdasarkan konsep kopartner. Yang muncul dalam pelaksanaan tugas belajar mengajar ialah, pendidik adalah subyek dan peserta didik adalah obyek. Pendidik bukan pelayan tetapi orang yang bertugas mengajar dan peserta didik bukan subyek yang harusnya diperlakukan sebagai anak Tuhan yang sama di mata Tuhan, melainkan murid yang harus patuh mendengar apa kata gurunya. Itu sebabnya maka pendidik bisa leluasa membentuk peserta didik menurut kemauan pendidik dan bukan menurut apa maunya Tuhan. Apa jadinya jika ini telah mewarnai sikap pendidik Kristen, tentu hasilnya ialah terciptanya murid-murid Kristen yang bukan berkarakterkan Kristus. Sebagai obyek, maka peserta didik terus menerus dilimpahkan materi-materi (bahan) pengajaran dari pendidik dan hubungan dengan peserta didik hanya sejauh tugas formal. Ini mengakibatkan tujuan PAK makin jauh dari yang diharapkan. 

Saya melihat penyabab dari hal di atas salah satunya adalah pola pendidikan yang tradisional masih berakar kuat dalam diri pendidik. Sikap “relationship” dengan murid masih manjadi prilaku yang aneh bagi para pendidik. Pemahaman yang kuat akan konsep guru adalah pemberi dan anak didik sebagai penerima merupakan hal mutlak tanpa syarat sehingga mustahil ada hubungan yang kuat antara pendidik dan siswa didik. Kadang justru peranan kopartner hanya dilimpahkan kepada guru yang bertugas sebagai pembimbing dan penyuluh (BP) atau guru wali yang ditunjuk oleh sekolah. Mungkin salah salah salah satu solusi yang dapat membantu berperannya seorang guru dengan murid sebagai kopatner ialah gereja yang mampu membina umatnya yang berstatus sebagai guru untuk mampu berperan sebagai guru Kristen yang baik. 

Saya berfikir bahwa penulis buku ini mampu untuk memberikan penyadaran bagi pendidik PAK agar makin memahami tugas dan kewajibannya sebagai pelayan Allah dan wakil Kristus yang memegang tugas jabatan mulia, yaitu menjadikan peserta didik hidup dalam penganalan akan Allah yang benar serta mampu mewujudkan firman dalam hidupnya


0 Response to "Hakekat Pendidikan PAK"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel