Study : Handbook of Sprituality for Ministry (review)



Buku Robert J. Wicks, yang berjudual Handbook of Sprituality for Ministry. Dari buku tersebut, Penulis membuat laporan  dengan lima bab yaitu Dasar Spritual direction, Melayani di Dunia Globalisasi: Tantangan Spiritualitas Lintas-Budaya, Spritualitas dan khotbah, Stres Dalam Pelayanan Rohani: Saran Praktis untuk Menghindari Stres yang Tidak Perlu dan Menemukan kembali Tuhan di Tengah-tengah Pekerjaan Kita
1. Dasar Spritual Direction (Shaun McCarty, S.T)
Pengarahan rohani (spiritual direction) merupakan proses bantuan yang bersifat individual guna menemukan apa yang dicari berbagai orang selaku pendoa, orang yang penuh anugerah. Istilah ini sering digunakan seperti bimbimbing rohani, pendampingan rohani, mentor rohani, bidan rohani dan sahabat rohani. Meskipun pelayanan ini memiliki nama yang beragam, pelayanan ini berhakikat memanggil setiap orang untuk memiliki hubungan yang intim dengan Allah. Menghubungkan roh manusia dengan Roh yang ilahi (1 Kor. 2: 13-16; 9: 11; 14: 1). Sehingga sesorang mencapai kesatuan dengan tritunggal dan hidup dalam kedewasaan. Pengarahan rohani dapat dikatakan merupakan pelayanan penuh anugerah karena pelayanan ini difasilitasi oleh orang yang terpanggil secara khusus (called), memiliki anugerah (gifted), dan berketrampilan khusus (skilled).
Pengarahan rohani dapat dilakukan melalui tiga prinsip yaitu termediasi (mediated), disengaja (intentional) dan dikhususkan (particularized). Dalam pengarahan rohani yakni proses mendengarkan, mengklarifikasi, membantu orang yang diarahkan untuk mengklarifikasi pengalamannya, mengidentifikasi dan mengklarifikasi sistem nilai seseorang, menegaskan, menantang, memilih dan memilah (discernment), mengajar, mengintegrasikan, akuntabilitas, membantu orang yang berada dalam padang gurun dan kegelapan, dan berdoa. Proses pengarahan rohani tersebut harus membawa orang kepada Tuhan dan merasakan kehadiranNya, mengubah sikap hidupnya dan menunjukan kesetiaanya kepada Tuhan.
Mengapa perlu ada pengarahan rohani? Spiritualitas pribadi begitu sangat dibutuhkan. Banyak orang membutuhkan motivasi yang jujur. Maka kebutuhan spiritualitas hendak dibangun, diajarkan sampai orang yang diarahkan peka terhadap kehadiran Roh Kudus dan kekuatannya, meskipun di satu sisi turut menyadari betapa sulitnya mendengarkanNya dan ketiadaan pengarahanNya. Itu sebabnya untuk menjadi pengarah rohani membutuhkan pengetahuan dan keterapilan dan dukungan yang lebih.
Menjadi seorang pengarah rohani tidak semudah yang dibayangkan. Karena ada banyak kesulitan-kesultan tersendiri yang akan dihadapi baik dari diri sendiri, hubungan dengan orang lain dan bahkan hubungan pribadi dengan Tuhan. Jika ingin menjadi pengarah rohani seseorang tersebut harus terlebih dahulu sudah mengalami perubahan dalam hidupnya serta memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh dalam roh. Pengarahan rohani diperuntukkan bagi siapapun yang menginginkan perjalanan rohani yang lebih serius dan yang ingin mencapai kedalaman hubungan dengan Allah.
2.     Melayani di Dunia Globalisasi: Tantangan Spiritualitas Lintas-Budaya (Joseph G Donders)
Seluruh bangsa tidak dituntut untuk menjadi orang Yahudi melainkan, setiap orang percaya harus menyatakan kesetiaannya Kepada Tuhan dan setia pada perjanjanjianNya. Topik tentang kerohanian lintas budaya tidak hanya bersifat akademik dengan banyak teori. Masalahnya bukan teoretis atau hipotetis. Spritualitas lintas budaya adalah fakta kehidupan dari orang-orang percaya. Disatukan dari berbagai budaya dan sejarah yang berbeda. Keragaman kita sendiri yang semakin berkembang, antar-etnis kita yang lebih besar dan saling terkait. Bagaimana caranya melayani budaya yang begitu beragam? Dalam Keempat Injil memberikan kesaksian pada pluralisme keragaman situasi dan masyarakat mengimbau kita untuk memerhatikan berbagai karisma misionaris dengan dorongan kekuatan dari roh Kudus. Kitab Injil berbeda karena ditulis oleh penulis yang berbeda, dengan maksud berbeda untuk audiensi yang berbeda pula.
Schlemper mengenali lima visi utama dunia, empat visi empiris dan satu visi metafisik.  Empiris adalah Pertama genetik, di mana seseorang mengalami diri sendiri sebagai bagian dari kelompok genetik, keluarga, ras atau orang, Kedua, Personalistik, di mana seseorang mengalami diri sendiri sebagai mitra dalam hubungan Aku-Engkau, Ketiga, Sosial, di mana seseorang mengalami diri sendiri sebagai bagian dari kelompok sosial, Keempat,  Naturalistik, di mana seseorang mengalami diri sendiri sebagai bagian dari alam dan Kelima, Metafisik, di mana seseorang mengalami diri sendiri bukan sebagai "bagian dari" tetapi sebagai "orang dengan" realitas transendental. 
Seiring dengan perkembangan zaman visi tersebut berkembang menjadi visi personalistik. Eksistensialisme menjadi filosofi yang berkuasa.  Hubungan Aku-Engkau menentukan hubungan seseorang dengan Allah. Suatu perubahan yang memiliki konsekuensi langsung tentang bagaimana cara orang Kristen mulai berhubungan dengan diri mereka sendiri, dengan satu sama lain, dengan moralitas dan dengan gereja-gereja mereka. Pengaruh personalistik ini begitu besar sehingga mampu menantang visi yang lebih tua, klasik, esensialistis dan dalam arti kesukuan.
Akhrinya dalam dokumen-dokumen konsili gereja digambarkan sebagai sebuah institusi hierarki dan sekaligus sebagai umat Allah. Dewan menyatakan bahwa semua orang Kristen dipanggil untuk kesempurnaan yang sama, dan pada saat yang sama didedikasikan dokumen khusus untuk kehidupan beragama. Di jantung gereja baru inilah menemukan awal baru dari visi silang dan realitas lintas budaya. Meskipun pluralisme ini memecah sebagian besar gereja ke dalam dua kubu yang terpolarisasi, tetap merupakan berkat bahwa tidak satu pun dari dua kecenderungan yang berlaku selama dewan mengalahkan yang lain.  Kedua visi tersebut menjadi satu, memiliki kemungkinan dan batasannya sendiri.  Mereka saling melengkapi. Kemajemukan ini bukan masalah keseimbangan.  Itu ada hubungannya dengan bagaimana kita tahu, dan bagaimana kita percaya.  Setiap orang membutuhkan berbagai visi dan pendekatan untuk memahami siapa dan apa yang dituju.
Pada awal kontribusi ini kami menarik perhatian pada fakta bahwa keempat Injil berbeda satu sama lain.  Mereka menyaksikan bagaimana orang-orang dengan penglihatan dunia yang berbeda dan mewakili berbagai budaya menanggapi dengan cara yang berbeda terhadap satu dan satu orang yang sama dengan Yesus, dipanggil oleh mereka semua "Kristus," yang diurapi.  Tanggapan mereka menunjukkan kombinasi dari "keragaman" dan kesatuan. "Membaca Injil saja tidak hanya akan menyembunyikan kekayaan yang kita temukan dalam injil-injil lain, itu juga akan mengecewakan" kesatuan "itu. Kita bukan hanya bagian dari misteri manusia / ilahi.  Dalam cara genetik, personalistik, sosial atau penciptaan. Kita pada saat yang sama "satu dengan" misteri manusia / ilahi hadir kepada kita dalam Yesus Kristus. Jika kita ingin setia kepada diri kita sendiri dan kepada orang lain, itu adalah dalam hal ini  "menjadi satu dengan" bahwa kita menemukan landasan bagi keanekaragaman mental kita yang lengkap.
Yesus sendiri berdoa agar kita dapat menyadari kesatuan ini, “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21), juga menambahkan, dirumah BapaKu banyak tempat, jika tidak demikian, tentu aku mengatakannya kepadamu (Yoh 14: 2).  Satu rumah keluarga dengan banyak kamar adalah apa yang Yesus bayangkan sebagai takdir akhir manusia. Ini adalah cara untuk pergi dalam pelayanan dengan keberagaman yang ada. Di rumah keluarga kamar-kamar itu berbeda karena dihuni oleh orang yang berbeda. Perbedaan dalam talenta dan karunia pribadilah yang membuat kamar-kamar itu begitu berbeda. Perbedaan inilah yang memperkaya setiap anggota keluarga, dan keluarga secara keseluruhan. Maka, Pastor yang melayani pelayanan yang beragam dan lintas budaya harus mendapat manfaat dari keragaman itu sebanyak mungkin.
Melihat keberangaman yang begitu banyak sikap memperlalukan seseorang dengan adil sangat dibutuhkan. Mempergunakan waktu dengan baik adalah kebijaksanaan dalam pelayanan lintas budaya. Memang keberagaman itu begitu banyak namun bukan untuk saling membeda-bedakan, itu merupakan keunikan dan keindahan Tuhan merindukan agar dengan keberagaman dapat menjadi satu dalam Kristus.
3.     Spiritualitas dan Kotbah  (Willam Skudlarek)
Melalui sebuah konferensi yang diselenggarakan pada 23-26 September 1993 di Shaurburg dekat Chicago, William mendapatkan sebuah pesan yang berulangkali disampaikan dalam konferensi tersebut. Pesan tersebut diyakini bahwa memang satu-satunya syarat terpenting untuk berkhotbah yang baik adalah bahwa para pengkhotbah harus ditransformasikan oleh firman Tuhan yang mereka khotbahkan kepada orang lain.  Dengan kata lain, seseorang tidak dapat berbicara tentang berkhotbah tanpa membicarakan masalah kerohanian pengkhotbah. Desakan bahwa khotbah yang baik hanya dapat datang dari orang-orang yang telah ditransformasikan oleh firman Allah.
Hal ini berulangkali ditegaskan oleh Uskup Kenneth dalam khotbahnya pada penutupan konferensi. Ia menggambarkan Perumpamaan Yesus tentang dua orang putra, yang seorang mengatakan ia akan melakukan apa yang diperintahkan ayahnya dan kemudian tidak melakukannya dan seorang lagi mengatakan ia tidak akan menuruti perintah ayahnya dan kemudian melakukannya (Mat 21: 28-32), seorang pengkhotbah membutuhkan konsistensi antara kata-kata kita dan perbuatan kita.  Tetapi spiritualitas dan Khotbah tidak sesederhana itu, lanjutnya, bukan hanya satu konsistensi antara kata-kata kita dan perbuatan kita, tetapi juga konsistensi antara Firman Allah, kata-kata kita, dan perbuatan kita. Jika salah satu elemen yang dijabarkan, berarti ada masalah. 
Akhirnya, jika perbuatan seorang pengkhotbah tidak dimasukkan ke dalam sikap hidupnya, akan menjadikannya sebagai seorang munafik dan akan menjadi sebuah pertentangan karena kata yang diucapkan Firman Allah bertentangan dengan sikap dan perilaku kita. Percayalah pada apa yang anda baca, khotbahkan apa yang anda yakini, dan praktikkan apa yang anda khotbahkan. Biarkan firman Tuhan mengubah pemikiran dan gaya hidup kita, dan anda kan menjadi pengkhotbah yang baik.
Melihat uraian yang disampaikannya penulis menyimpulkan bahwa bagi Willam Firman Allah menjadi makanan rohani yang utama. Itu sebabnya ia menawarkan untuk tetap membaca, merenungkan dengan tekun dan melakukannya. Ia menggambarkannya dengan mengenal Alkitab, sama seperti mengenal orang miskin.  Hubungan perlu sering dan disiplin.  Itu membutuhkan waktu, dan tidak bisa dipaksakan.  Baik Alkitab dan orang miskin menuntut perhatian, rasa hormat, persahabatan, kesungguhan, dan mendengarkan sepenuhnya. Seorang penghotbah juga harus memperhatikan kata yang Tuhan ingin utarakan kepadanya, percaya bahwa kata yang  didengar akan menjadi kata yang berarti bagi pengkhotbah dan mereka yang akan mendengar khotbahnya. Seorang pengkhotbah harus mempelajari teks Firman Tuhan agar tidak memanifulasinya. Meditasi dan membaca adalah untuk tujuan menemukan makna teks, pesan yang disampaikan dan diajarkan. 
Alasan mengapa kita sering tidak dapat mengenali kehadiran ilahi di dunia adalah karena dosa telah menumpulkan visi kita.  Karena alasan inilah Yesus dan tulisan suci dibicarakan sebagai terang (Yoh 1: 4-5; Mz 119: 105). Seperti lampu depan sebuah mobil, cahaya yang berasal dari firman Allah harus diarahkan ke jalan di depan kita, ke realitas konkret yang membentuk keberadaan historis kita, dan tidak mengarah ke langit di mana ia hanya akan bersinar  menjadi tak terhingga tetapi tidak menerangi apa pun. Merenungkan Firman Tuhan bukan untuk mendapatkan pengetahuan saja, tetapi untuk menerangi kehidupan kita sehari-hari.  Sehingga Allah dapat ditemukan di dunia, dalam daging, sebagai Imanuel, yang selalu beserta kita, dan dunia dipenuhi dengan keagungan Allah. Ketika kita tiba pada visi kontemplatif dunia ini melalui umat beriman dan setia yang selalu membaca, mempelajari tulisan suci dan berdoa dengan disiplin.
4.     Stres Dalam Pelayanan Rohani: Saran Praktis untuk Menghindari Stres yang Tidak Perlu (J Wicks)
doa" sebagai topik pertama dalam pengurangan stres dalam pelayanan.  Cukup mudah kehilangan perspektif saat orang yang berdoa;  tanpa itu, seseorang pasti akan terpaut. 
Keseimbangan dalam jadwal seseorang juga penting.  Jadwal ideal akan bervariasi dari orang ke orang;  beberapa orang senang menjadi lebih aktif
Pengasuhan diri juga merupakan satu kunci rasa pelayanan yang hidup. Ini tidak identik dengan narsisme.  Sebaliknya, ini adalah cara untuk membiarkan diri kita menyerap cinta yang ada di sekitar kita daripada mendengar pujian dalam bisikan dan komentar negatif sebagai guntur. 
Keintiman yang sehat dengan orang lain adalah landasan lain dari pelayanan vital. Dua bahaya di daerah ini adalah: keterlibatan berlebihan yang tidak tepat yang tidak sehat dengan orang lain di satu sisi dan aseksual  menjauhkan diri dari orang lain di ujung ekstrim
Kemampuan untuk berurusan dengan emosi negatif juga merupakan elemen penting dalam pelayanan karena seseorang berhubungan dengan kemarahan, depresi, sarkasme, dan pertentangan begitu sering.
Kemampuan untuk menempatkan kegagalan dalam perspektif adalah satu kunci lain dari pelayanan. Para pelayan harus lebih banyak gagal daripada orang lain mana pun di dunia. Semakin Anda terlibat,  semakin banyak Anda gagal, sesederhana itu.  Jadi, orang-orang dalam pelayanan harus menyadari bahwa kegagalan, rasa malu, dan kecanggungan adalah pegangan keselamatan rahmat Allah yang menyelamatkan.  Masalah dengan kegagalan sering muncul sebagai ketakutan disalahpahami oleh umat paroki atau kolega. 
memperbaiki pemikiran kita sehingga tindakan yang sehat dalam masa-masa sulit yang berkaitan dengan stres dapat menjadi lebih mungkin:
5.     Menemukan kembali Tuhan di Tengah-tengah Pekerjaan Kita (Joyce rupp)
Pekerjaan saya membawa saya jauh dari Tuhan. Demikian kata Joyce, Ia merasa bahwa kegiatan pelayanannya adalah gangguan yang mengerikan atau keterasingan yang meluas dari sungai yang mengalir deras dari energi ilahi dalam dirinya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa pelayanan bisa menjadi sumber cinta kasih dan bersekutu dengan orang-orang yang dicintai. Ia selalu merasa tegang di antara tindakan dan kontemplasi.
Joyce pernah terperangkap dalam kesulitan besar. Sibuk berusaha untuk menjadi sukses, memetakan tujuannya hari demi hari, bergegas berkeliling dengan dorongan ego menjadi terpandang. Pada saat yang sama, ia juga berusaha untuk tetap setia pada doa dan meditasi setiap hari, tetapi bagian hidupnya ini jarang bersinggungan dengan pekerjaan dan akhirnya ia merasa sangat frustrasi. Disisi lain merindukan lebih banyak waktu untuk "bersama Tuhan" tetapi merasa muak dengan pekerjaan dan jauh dari Tuhan karenanya
Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa itu dapat membuat dia lebih bertumbuh. Ia menganggap ketegangan antara tindakan dan kontemplasi ini sebagai hal yang baik dan bukan sebagai sesuatu yang harus ia singkirkan. Mengingat apa yang dialaminya membuat ia bersyukur kepada Tuhan. Buber mengatakan bahwa tidak penting apa yang dilakukan seseorang, tetapi bagaimana seseorang melakukannya. Ia ingin mencapai tugas besar dan mulia, tetapi adalah tugas utamanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kecil seolah-olah mereka besar dan mulia. Maka percaya adalah salah satu kekuatan untuk tetap mengingat Tuhan. Sebelum memulai pekerjaan ia berjumpa terlebih dahulu dengan Tuhan. Kembali kepada injil. Ia menempatkan pengalaman, karya senih sebagai tanda pengingat akan Tuhan dalam hidupnya. Ia juga mengatkan bahwa alasan yang menghambat kita untuk menemukan Tuhan dalam pekerjaan adalah dorongan untuk selalu sukses. Orientasi produksi adalah alasan utama mengapa kita menjadi terlalu sibuk untuk mengenali dimensi yang lebih dalam dalam pelayanan kita Ego kita, dan Ketidakmampuan untuk mempertahankan periode kesendirian bisa menjadi tantangan lain yang dapat menjauhkan seseorang dari kesadaran.  Waktu dan disiplin, kita juga dapat secara realistis mengharapkan fokus yang lebih jelas tentang mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan, yang akan memberi kita lebih banyak energi setiap hari untuk menikmati apa yang kita lakukan.  Kita juga dapat menemukan kenyamanan karena mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam apa pun yang mengepung kita di dunia kerja.  Kita akan selalu memiliki teman ilahi bersama kita, untuk membimbing, memberi kita kebijaksanaan yang dibutuhkan untuk bergerak di dunia dengan harapan Tuhan tetap menjadi yang utama. 

Kesimpulan
Ada tema berulang yang menekankan bahwa kehidupan dan arahan rohani perlu mengambil keterlibatan Kristus dengan orang-orang pada zamannya sebagai contoh. Hubungan antara Allah dan Yesus adalah jenis hubungan yang Yesus jalin dengan orang-orang yang ia layani. Spiritualitas tidak hanya diekspresikan dalam batas-batas individualitas seseorang, tetapi juga harus diakui sebagai kegiatan sosial. Di sinilah letak aspek spasial dari kehidupan Kristen. Hubungan seseorang dengan Tuhan diekspresikan dalam hubungan dengan sesama. Buku ini menyediakan alat yang berharga bagi mereka yang terlibat dalam pelayanan yang ditahbiskan dan orang awam, untuk refleksi dan bimbingan. Konten khas dari masing-masing artikel menentukan bahwa ini bukan buku yang dapat, atau memang, harus dibaca sebagai hal yang biasa. Setiap artikel menuntut perhatian, daya serap, dan renungannya sendiri, agar mendapat manfaat darinya.

0 Response to "Study : Handbook of Sprituality for Ministry (review)"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel