Study : Handbook of Sprituality for Ministry (review)
Thursday, February 13, 2020
Add Comment
Buku Robert J. Wicks, yang berjudual Handbook of Sprituality for Ministry. Dari buku tersebut, Penulis
membuat laporan dengan lima bab yaitu Dasar Spritual direction, Melayani
di Dunia Globalisasi: Tantangan Spiritualitas Lintas-Budaya, Spritualitas dan
khotbah, Stres Dalam Pelayanan Rohani: Saran Praktis
untuk Menghindari Stres yang Tidak Perlu dan Menemukan kembali Tuhan di Tengah-tengah
Pekerjaan Kita
1. Dasar Spritual
Direction (Shaun McCarty, S.T)
Pengarahan rohani (spiritual direction)
merupakan proses bantuan yang bersifat individual guna menemukan apa yang
dicari berbagai orang selaku pendoa, orang yang penuh anugerah. Istilah ini
sering digunakan seperti bimbimbing rohani, pendampingan rohani, mentor rohani,
bidan rohani dan sahabat rohani. Meskipun pelayanan ini memiliki nama yang
beragam, pelayanan ini berhakikat memanggil setiap orang untuk memiliki
hubungan yang intim dengan Allah. Menghubungkan roh manusia dengan Roh yang
ilahi (1 Kor. 2: 13-16; 9: 11; 14: 1). Sehingga sesorang mencapai kesatuan
dengan tritunggal dan hidup dalam kedewasaan. Pengarahan rohani dapat dikatakan
merupakan pelayanan penuh anugerah karena pelayanan ini difasilitasi oleh orang
yang terpanggil secara khusus (called), memiliki anugerah (gifted),
dan berketrampilan khusus (skilled).
Pengarahan rohani dapat dilakukan melalui tiga
prinsip yaitu termediasi (mediated), disengaja (intentional) dan dikhususkan
(particularized). Dalam pengarahan rohani yakni proses mendengarkan,
mengklarifikasi, membantu orang yang diarahkan untuk mengklarifikasi
pengalamannya, mengidentifikasi dan mengklarifikasi sistem nilai seseorang,
menegaskan, menantang, memilih dan memilah (discernment), mengajar,
mengintegrasikan, akuntabilitas, membantu orang yang berada dalam padang gurun
dan kegelapan, dan berdoa. Proses pengarahan rohani tersebut harus membawa
orang kepada Tuhan dan merasakan kehadiranNya, mengubah sikap hidupnya dan
menunjukan kesetiaanya kepada Tuhan.
Mengapa perlu ada pengarahan rohani? Spiritualitas
pribadi begitu sangat dibutuhkan. Banyak orang membutuhkan motivasi yang jujur.
Maka kebutuhan spiritualitas hendak dibangun, diajarkan sampai orang yang diarahkan
peka terhadap kehadiran Roh Kudus dan kekuatannya, meskipun di satu sisi turut
menyadari betapa sulitnya mendengarkanNya dan ketiadaan pengarahanNya. Itu
sebabnya untuk menjadi pengarah rohani membutuhkan pengetahuan dan keterapilan
dan dukungan yang lebih.
Menjadi
seorang pengarah rohani tidak semudah yang dibayangkan. Karena ada banyak
kesulitan-kesultan tersendiri yang akan dihadapi baik dari diri sendiri,
hubungan dengan orang lain dan bahkan hubungan pribadi dengan Tuhan. Jika ingin
menjadi pengarah rohani seseorang tersebut harus terlebih dahulu sudah mengalami
perubahan dalam hidupnya serta memiliki keinginan yang kuat untuk tumbuh dalam
roh. Pengarahan rohani diperuntukkan bagi siapapun yang menginginkan perjalanan
rohani yang lebih serius dan yang ingin mencapai kedalaman hubungan dengan
Allah.
2.
Melayani
di Dunia Globalisasi: Tantangan Spiritualitas Lintas-Budaya (Joseph G Donders)
Seluruh bangsa tidak dituntut untuk
menjadi orang Yahudi melainkan, setiap orang percaya harus menyatakan
kesetiaannya Kepada Tuhan dan setia pada perjanjanjianNya. Topik
tentang kerohanian lintas budaya tidak hanya bersifat akademik dengan banyak
teori. Masalahnya bukan teoretis atau hipotetis. Spritualitas lintas budaya
adalah fakta kehidupan dari orang-orang percaya. Disatukan dari berbagai budaya
dan sejarah yang berbeda. Keragaman
kita sendiri yang semakin berkembang, antar-etnis kita yang lebih besar dan saling
terkait. Bagaimana caranya melayani budaya yang begitu beragam? Dalam Keempat
Injil memberikan kesaksian pada pluralisme keragaman situasi dan masyarakat
mengimbau kita untuk memerhatikan berbagai karisma misionaris dengan dorongan
kekuatan dari roh Kudus. Kitab Injil berbeda karena ditulis oleh penulis yang
berbeda, dengan maksud berbeda untuk audiensi yang berbeda pula.
Schlemper mengenali lima visi utama
dunia, empat visi empiris dan satu visi metafisik. Empiris adalah Pertama genetik, di mana seseorang mengalami diri sendiri sebagai
bagian dari kelompok genetik, keluarga, ras atau orang, Kedua, Personalistik, di mana seseorang mengalami diri sendiri
sebagai mitra dalam hubungan Aku-Engkau, Ketiga,
Sosial, di mana seseorang mengalami diri sendiri sebagai bagian dari
kelompok sosial, Keempat, Naturalistik, di mana seseorang mengalami diri
sendiri sebagai bagian dari alam dan Kelima,
Metafisik, di mana seseorang mengalami diri sendiri bukan sebagai
"bagian dari" tetapi sebagai "orang dengan" realitas
transendental.
Seiring dengan perkembangan zaman visi
tersebut berkembang menjadi visi personalistik. Eksistensialisme menjadi
filosofi yang berkuasa. Hubungan
Aku-Engkau menentukan hubungan seseorang dengan Allah. Suatu perubahan yang
memiliki konsekuensi langsung tentang bagaimana cara orang Kristen mulai
berhubungan dengan diri mereka sendiri, dengan satu sama lain, dengan moralitas
dan dengan gereja-gereja mereka. Pengaruh personalistik ini begitu besar
sehingga mampu menantang visi yang lebih tua, klasik, esensialistis dan dalam
arti kesukuan.
Akhrinya
dalam dokumen-dokumen konsili gereja digambarkan sebagai sebuah institusi hierarki
dan sekaligus sebagai umat Allah. Dewan menyatakan bahwa semua orang Kristen
dipanggil untuk kesempurnaan yang sama, dan pada saat yang sama didedikasikan
dokumen khusus untuk kehidupan beragama. Di jantung gereja baru inilah menemukan
awal baru dari visi silang dan realitas lintas budaya. Meskipun pluralisme ini
memecah sebagian besar gereja ke dalam dua kubu yang terpolarisasi, tetap
merupakan berkat bahwa tidak satu pun dari dua kecenderungan yang berlaku
selama dewan mengalahkan yang lain.
Kedua visi tersebut menjadi satu, memiliki kemungkinan dan batasannya
sendiri. Mereka saling melengkapi. Kemajemukan ini bukan masalah keseimbangan. Itu ada hubungannya dengan bagaimana kita
tahu, dan bagaimana kita percaya. Setiap
orang membutuhkan berbagai visi dan pendekatan untuk memahami
siapa dan apa yang dituju.
Pada
awal kontribusi ini kami menarik perhatian pada fakta bahwa keempat Injil
berbeda satu sama lain. Mereka
menyaksikan bagaimana orang-orang dengan penglihatan dunia yang berbeda dan
mewakili berbagai budaya menanggapi dengan cara yang berbeda terhadap satu dan
satu orang yang sama dengan Yesus, dipanggil oleh mereka semua
"Kristus," yang diurapi.
Tanggapan mereka menunjukkan kombinasi dari "keragaman" dan
kesatuan. "Membaca Injil saja tidak hanya akan menyembunyikan kekayaan yang
kita temukan dalam injil-injil lain, itu juga akan mengecewakan" kesatuan
"itu. Kita bukan hanya bagian dari misteri manusia / ilahi. Dalam cara genetik, personalistik, sosial
atau penciptaan. Kita pada saat yang sama "satu dengan" misteri
manusia / ilahi hadir kepada kita dalam Yesus Kristus. Jika kita ingin setia
kepada diri kita sendiri dan kepada orang lain, itu adalah dalam hal ini "menjadi satu dengan" bahwa kita
menemukan landasan bagi keanekaragaman mental kita yang lengkap.
Yesus
sendiri berdoa agar kita dapat menyadari kesatuan ini, “supaya mereka semua
menjadi satu” (Yoh. 17:21), juga menambahkan, dirumah BapaKu banyak tempat, jika
tidak demikian, tentu aku mengatakannya kepadamu (Yoh 14: 2). Satu rumah keluarga dengan banyak kamar
adalah apa yang Yesus bayangkan sebagai takdir akhir manusia. Ini adalah cara untuk
pergi dalam pelayanan dengan keberagaman yang ada. Di rumah keluarga
kamar-kamar itu berbeda karena dihuni oleh orang yang berbeda. Perbedaan dalam
talenta dan karunia pribadilah yang membuat kamar-kamar itu begitu berbeda.
Perbedaan inilah yang memperkaya setiap anggota keluarga, dan keluarga secara
keseluruhan. Maka, Pastor yang melayani pelayanan yang beragam dan lintas
budaya harus mendapat manfaat dari keragaman itu sebanyak mungkin.
Melihat
keberangaman yang begitu banyak sikap memperlalukan seseorang dengan adil
sangat dibutuhkan. Mempergunakan waktu dengan baik adalah kebijaksanaan dalam
pelayanan lintas budaya. Memang keberagaman itu begitu banyak namun bukan untuk
saling membeda-bedakan, itu merupakan keunikan dan keindahan Tuhan merindukan
agar dengan keberagaman dapat menjadi satu dalam Kristus.
3.
Spiritualitas dan Kotbah (Willam Skudlarek)
Melalui sebuah konferensi yang diselenggarakan
pada 23-26 September 1993 di Shaurburg dekat Chicago, William mendapatkan
sebuah pesan yang berulangkali disampaikan dalam konferensi tersebut. Pesan
tersebut diyakini bahwa memang satu-satunya syarat terpenting untuk berkhotbah
yang baik adalah bahwa para pengkhotbah harus ditransformasikan oleh
firman Tuhan yang mereka khotbahkan kepada orang lain. Dengan kata lain,
seseorang tidak dapat berbicara tentang berkhotbah tanpa membicarakan masalah
kerohanian pengkhotbah. Desakan bahwa khotbah yang baik hanya dapat datang
dari orang-orang yang telah ditransformasikan oleh firman Allah.
Hal ini berulangkali ditegaskan oleh Uskup
Kenneth dalam khotbahnya pada penutupan konferensi. Ia menggambarkan
Perumpamaan Yesus tentang dua orang putra, yang seorang mengatakan ia akan
melakukan apa yang diperintahkan ayahnya dan kemudian tidak melakukannya dan
seorang lagi mengatakan ia tidak akan menuruti perintah ayahnya dan kemudian
melakukannya (Mat 21: 28-32), seorang pengkhotbah membutuhkan konsistensi antara
kata-kata kita dan perbuatan kita. Tetapi spiritualitas dan Khotbah tidak sesederhana itu, lanjutnya, bukan hanya
satu konsistensi antara kata-kata kita dan perbuatan kita, tetapi juga konsistensi
antara Firman Allah, kata-kata kita, dan perbuatan kita. Jika salah satu elemen
yang dijabarkan, berarti ada masalah.
Akhirnya, jika perbuatan seorang pengkhotbah
tidak dimasukkan ke dalam sikap hidupnya, akan menjadikannya sebagai seorang
munafik dan akan menjadi sebuah pertentangan karena kata yang diucapkan Firman
Allah bertentangan dengan sikap dan perilaku kita. Percayalah pada apa yang
anda baca, khotbahkan apa yang anda yakini, dan praktikkan apa yang anda
khotbahkan. Biarkan firman Tuhan mengubah pemikiran dan gaya hidup kita, dan
anda kan menjadi pengkhotbah yang baik.
Melihat uraian yang disampaikannya penulis
menyimpulkan bahwa bagi Willam Firman Allah menjadi makanan rohani yang utama.
Itu sebabnya ia menawarkan untuk tetap membaca, merenungkan dengan tekun dan
melakukannya. Ia menggambarkannya dengan mengenal Alkitab, sama seperti
mengenal orang miskin. Hubungan perlu sering dan disiplin. Itu
membutuhkan waktu, dan tidak bisa dipaksakan. Baik Alkitab dan orang
miskin menuntut perhatian, rasa hormat, persahabatan, kesungguhan, dan
mendengarkan sepenuhnya. Seorang penghotbah juga harus memperhatikan kata
yang Tuhan ingin utarakan kepadanya, percaya bahwa kata yang didengar akan menjadi kata yang berarti bagi
pengkhotbah dan mereka yang akan mendengar khotbahnya. Seorang pengkhotbah
harus mempelajari teks Firman Tuhan agar tidak memanifulasinya. Meditasi dan membaca
adalah untuk tujuan menemukan makna teks, pesan yang disampaikan dan diajarkan.
Alasan mengapa kita sering tidak dapat
mengenali kehadiran ilahi di dunia adalah karena dosa telah menumpulkan visi
kita. Karena alasan inilah Yesus dan
tulisan suci dibicarakan sebagai terang (Yoh 1: 4-5; Mz 119: 105). Seperti
lampu depan sebuah mobil, cahaya yang berasal dari firman Allah harus diarahkan
ke jalan di depan kita, ke realitas konkret yang membentuk keberadaan historis
kita, dan tidak mengarah ke langit di mana ia hanya akan bersinar menjadi tak terhingga tetapi tidak menerangi
apa pun. Merenungkan Firman Tuhan bukan untuk mendapatkan pengetahuan saja,
tetapi untuk menerangi kehidupan kita sehari-hari. Sehingga Allah dapat ditemukan di dunia, dalam
daging, sebagai Imanuel, yang selalu beserta kita, dan dunia dipenuhi dengan
keagungan Allah. Ketika kita tiba pada visi kontemplatif dunia ini melalui umat
beriman dan setia yang selalu membaca, mempelajari tulisan suci dan berdoa
dengan disiplin.
4.
Stres Dalam Pelayanan Rohani: Saran Praktis
untuk Menghindari Stres yang Tidak Perlu (J Wicks)
doa" sebagai topik pertama dalam
pengurangan stres dalam pelayanan. Cukup
mudah kehilangan perspektif saat orang yang berdoa; tanpa itu, seseorang pasti akan terpaut.
Keseimbangan dalam jadwal seseorang juga
penting. Jadwal ideal akan bervariasi
dari orang ke orang; beberapa orang
senang menjadi lebih aktif
Pengasuhan diri juga merupakan satu kunci rasa
pelayanan yang hidup. Ini tidak identik dengan narsisme. Sebaliknya, ini adalah cara untuk membiarkan
diri kita menyerap cinta yang ada di sekitar kita daripada mendengar pujian
dalam bisikan dan komentar negatif sebagai guntur.
Keintiman yang sehat dengan orang lain adalah
landasan lain dari pelayanan vital. Dua bahaya di daerah ini adalah:
keterlibatan berlebihan yang tidak tepat yang tidak sehat dengan orang lain di
satu sisi dan aseksual menjauhkan diri
dari orang lain di ujung ekstrim
Kemampuan untuk berurusan dengan emosi negatif
juga merupakan elemen penting dalam pelayanan karena seseorang berhubungan
dengan kemarahan, depresi, sarkasme, dan pertentangan begitu sering.
Kemampuan untuk menempatkan kegagalan dalam
perspektif adalah satu kunci lain dari pelayanan. Para pelayan harus lebih
banyak gagal daripada orang lain mana pun di dunia. Semakin Anda terlibat, semakin banyak Anda
gagal, sesederhana itu. Jadi,
orang-orang dalam pelayanan harus menyadari bahwa kegagalan, rasa malu, dan
kecanggungan adalah pegangan keselamatan rahmat Allah yang menyelamatkan. Masalah dengan kegagalan
sering muncul sebagai ketakutan disalahpahami oleh umat paroki atau
kolega.
memperbaiki pemikiran kita sehingga tindakan
yang sehat dalam masa-masa sulit yang berkaitan dengan stres dapat menjadi
lebih mungkin:
5.
Menemukan
kembali Tuhan di Tengah-tengah Pekerjaan Kita (Joyce rupp)
Pekerjaan saya membawa saya jauh dari Tuhan.
Demikian kata Joyce, Ia merasa bahwa kegiatan pelayanannya adalah gangguan yang
mengerikan atau keterasingan yang meluas dari sungai yang mengalir deras dari
energi ilahi dalam dirinya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa pelayanan bisa
menjadi sumber cinta kasih dan bersekutu dengan orang-orang yang dicintai. Ia selalu
merasa tegang di antara tindakan dan kontemplasi.
Joyce pernah terperangkap dalam
kesulitan besar. Sibuk berusaha untuk menjadi sukses, memetakan tujuannya hari
demi hari, bergegas berkeliling dengan dorongan ego menjadi terpandang. Pada
saat yang sama, ia juga berusaha untuk tetap setia pada doa dan meditasi setiap
hari, tetapi bagian hidupnya ini jarang bersinggungan dengan pekerjaan dan
akhirnya ia merasa sangat frustrasi. Disisi lain merindukan lebih banyak waktu
untuk "bersama Tuhan" tetapi merasa muak dengan pekerjaan dan jauh
dari Tuhan karenanya
Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa
itu dapat membuat dia lebih bertumbuh. Ia menganggap ketegangan antara tindakan
dan kontemplasi ini sebagai hal yang baik dan bukan sebagai sesuatu yang harus
ia singkirkan. Mengingat apa yang dialaminya membuat ia bersyukur kepada Tuhan.
Buber mengatakan bahwa tidak penting apa yang dilakukan seseorang, tetapi
bagaimana seseorang melakukannya. Ia ingin mencapai tugas besar dan mulia,
tetapi adalah tugas utamanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kecil seolah-olah
mereka besar dan mulia. Maka percaya adalah salah satu kekuatan untuk tetap
mengingat Tuhan. Sebelum memulai pekerjaan ia berjumpa terlebih dahulu dengan
Tuhan. Kembali kepada injil. Ia menempatkan pengalaman, karya senih sebagai
tanda pengingat akan Tuhan dalam hidupnya. Ia juga mengatkan bahwa alasan yang
menghambat kita untuk menemukan Tuhan dalam pekerjaan adalah dorongan
untuk selalu sukses. Orientasi produksi adalah alasan utama mengapa kita
menjadi terlalu sibuk untuk mengenali dimensi yang lebih dalam dalam
pelayanan kita Ego kita, dan Ketidakmampuan untuk mempertahankan periode
kesendirian bisa menjadi tantangan lain yang dapat menjauhkan seseorang dari
kesadaran. Waktu dan disiplin, kita juga dapat secara realistis
mengharapkan fokus yang lebih jelas tentang mengapa kita melakukan apa yang
kita lakukan, yang akan memberi kita lebih banyak energi setiap hari untuk
menikmati apa yang kita lakukan. Kita juga dapat menemukan kenyamanan
karena mengetahui bahwa kita tidak pernah sendirian dalam apa pun yang mengepung
kita di dunia kerja. Kita akan selalu
memiliki teman ilahi bersama kita, untuk membimbing, memberi kita kebijaksanaan
yang dibutuhkan untuk bergerak di dunia dengan harapan Tuhan tetap menjadi yang
utama.
Kesimpulan
Ada tema
berulang yang menekankan bahwa kehidupan dan arahan rohani perlu mengambil
keterlibatan Kristus dengan orang-orang pada zamannya sebagai contoh. Hubungan
antara Allah dan Yesus adalah jenis hubungan yang Yesus jalin dengan
orang-orang yang ia layani. Spiritualitas tidak hanya diekspresikan dalam
batas-batas individualitas seseorang, tetapi juga harus diakui sebagai kegiatan
sosial. Di sinilah letak aspek spasial dari kehidupan Kristen. Hubungan
seseorang dengan Tuhan diekspresikan dalam hubungan dengan sesama. Buku ini
menyediakan alat yang berharga bagi mereka yang terlibat dalam pelayanan yang
ditahbiskan dan orang awam, untuk refleksi dan bimbingan. Konten khas dari
masing-masing artikel menentukan bahwa ini bukan buku yang dapat, atau memang,
harus dibaca sebagai hal yang biasa. Setiap artikel menuntut perhatian, daya
serap, dan renungannya sendiri, agar mendapat manfaat darinya.
0 Response to "Study : Handbook of Sprituality for Ministry (review)"
Post a Comment